JARIMAH ZINA DAN TUDUHAN ZINA (QADZAF)
JARIMAH
ZINA
DAN
TUDUHAN ZINA (QADZAF)
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih II
Dosen Pengampu : H. Ali As`Ad,
S.Sy., S.Pd.I, M.Pd.I.
Disusun Oleh Kelompok 3:
1.
David Muhammad
H. (141310003012)
2.
Laela Febri Q
(1413100030 )
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
FAKULTAS
TARBIYAH & KEGURUAN SEMESTER 4 A1
JEPARA
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kehidupan bermasyarakat pada saat ini banyak sekali kita temukan hal hal yang
melanggar aturan agama, dimana mereka melakukan suatu perbuatan tanpa
memikirkan apa akibat dan dosa yang akan mereka dapatkan dengan perbuatan
mereka itu.
Perbuatan
dosa yang pada saat era globalisasi saat ini yang sering terjadi adalah Zina,
dimana perbuatan ini dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan
perkawinan yang sah dan hanya menuruti kehendak
hawa nafsu dan kenikmatan seasaat. Perbuatan ini terjadi disebabkan
karena lemahnya iman dan kurangnya pengetahuan akan agama, serta kurangnya
kontrol dari orang tua terhadap anak anak mereka sehingga anak anak itu berbuat
sesuatu yang melanggar aturan agama.
Selain
permasalahan zina di atas tak kalah peliknya adalah perbuatan
menuduhkan seseorang berbuat zina yang mana hal ini amat dibenci Allah dan pada
kenyataannya sering dilakukan oleh masyarakat (Qazaf atau fitnah). Dimana perbuatan ini adalah menuduh seseorang
melakukan perbuatan zina tanpa adanya bukti yang kuat. Dan untuk pemaparan
selanjutnya saya akan membahasnya di bab selanjutnya.
B.
Rumusan
masalah
A.
Jarima
Zina.
B.
Tuduhan
Zina (Qadzaf).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Jarima
Zina
1.
Pengertian
jarimah
Menurut
bahasa kata jarimah berasal dari kata "jarama" kemudian menjadi
bentuk masdar "jaramatan" yang artinya: perbuatan dosa, perbuatan
salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan "jarim", dan yang
dikenai perbuatan itu adalah "mujaram 'alaihi".[1]
Menurut istilah para fuqaha', yang dinamakan jarimah adalah :
"Segala
larangan syara' (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal
yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta'zir".[2]
Pengertian
jarimah juga sama dengan peristiwa pidana, atau sama dengan tindak pidana atau
delik dalam hukum positif.[3]
Hanya bedanya hukum positif membedakan antara kejahatan dan pelanggaran
mengingat berat ringannya hukuman, sedangkan syari'at Islam tidak
membedakannya, semuanya disebut jarimah atau jinayat mengingat sifat pidananya.
2.
Pengertian
Zina
Zina
berarti hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan
tampa ikatan perkawinan.[4]
Tidak masalah apakah salah satu pihak atau keduanya telah memiliki pasangan
hidupnya masing masing ataupun belum menikah sama sekali. Selain itu zina juga
berarti setiab persetubuhan yang terjadi
bukan karena persetubuhan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena
karena kepemilikan (budak).[5]
Sedangkan
pengertian zina menurut para imam Mazhab adalah:
·
Malikiyah
Zina
adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang mukallaf terhadap farji manusia
(wanita) yang bukan miliknya secra disepakati dengan kesengajaan.
·
Hanafiyah
Zina
adalah nama bagi persetubuhan yang haram dan qubul (kemaluan) seorang perempuan
yang masih hidup dalam keadaan ikhtiyar (tampa paksaan) didalam negeri yang
adil yang dilakukan oleh orang orang kepadanya berlaku hukum islam, dan wanita
itu bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.
·
Syafi’iyah
Zina adalah memasukkan zakar kedalam farji
yang diharamkan karena zatnya tampa adanya syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syhwat.
·
Hanabilah
Zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul(farji)
maupun dubur.[6]
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
jarimah zina yaitu suatu perbuatan dosa yang dilakukan melalui hubungan
kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan tampa ikatan
perkawinan dan hal tersebut sangat dilarang dan merupakan dosa yang amat besar,
selain itu perbuatan itu juga akan
memberikan peluang bagi berbagai perbuatan yang memalukan lainnya yang akan
menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, yang akan mengakibatkan
terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan, menghancurkan nama baik dan
harta benda, serta menyebarkan berbagai macam penyakit baik jasmani maupun
rohani.
3.
Dasar-dasar
dilarangnya Zina
Ayat-ayat
Al-Qur’an dibawah ini merupakan hukum yang menyatakan secara tegas bahwa islam
mengharamkan zina.
1)
An
Nur ayat 2
èpuÏR#¨9$#ËÈ
Artinya :
“Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(An-Nur :2).
2)
An-nisa’
ayat 15
ÓÉL»©9$#ur
Artinya :
“Dan (terhadap)
para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang
saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila para saksi itu
telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya.” (An-Nisa’ : 15).
3)
Al-isra’
ayat 32
wur
(#qç/tø)s?
#oTÌh9$#
( ¼çm¯RÎ)
tb%x.
Zpt±Ås»sù
uä!$yur
WxÎ6y
ÇÌËÈ
Artinya :
“Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.”
4)
Hadits
Nabi SAW :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ وَ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ
اْلجُهَنِيّ اَنَّهُمَا قَالاَ: اِنَّ رَجُلاً مِنَ اْلاَعْرَابِ اَتَى رَسُوْلَ
اللهِ ص فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اَنْشُدُكَ اللهَ اِلاَّ قَضَيْتَ لِى
بِكِتَابِ اللهِ. وَ قَالَ اْلخَصْمُ اْلآخَرُ وَ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ: نَعَمْ،
فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَ ائْذَنْ لِى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: قُلْ،
قَالَ: اِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيْفًا عَلَى هذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ، وَ اِنِّى
اُخْبِرْتُ اَنَّ عَلَى ابْنِى الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَ
وَلِيْدَةٍ. فَسَأَلْتُ
اَهْلَ اْلعِلْمِ، فَاَخْبَرُوْنِى اَنَّمَا عَلَى ابْنِى جَلْدُ مِائَةٍ وَ
تَغْرِيْبُ عَامٍ، وَ اَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هذَا الرَّجْمَ. فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ ص: وَ الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ َلأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ.
اْلوَلِيْدَةُ وَ اْلغَنَمُ رَدٌّ. وَ عَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبُ
عَامٍ. وَ اغْدُ يَا أُنَيْسُ اِلَى امْرَأَةِ هذَا، فَاِنِ اعْتَرَفَتْ
فَارْجُمْهَا. قَالَ: فَغَدَا
عَلَيْهَا، فَاعْتَرَفَتْ، فَاَمَرَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ ص، فَرُجِمَتْ. مسلم 4 : 1324
Artinya :
Dari
Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhaniy, mereka berkata : Bahwa ada seorang
laki-laki Badui datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah,
Demi Allah, sungguh aku tidak meminta kepadamu kecuali engkau memutuskan hukum
untukku dengan kitab Allah”. Sedang yang lain berkata (dan dia lebih pintar
dari padanya), “Ya, putuskanlah hukum antara kami berdua ini menurut kitab
Allah, dan ijinkanlah aku (untuk berkata)”. Lalu Rasulullah SAW menjawab,
“Silakan”. Maka orang yang kedua itu berkata, “Sesungguhnya anakku bekerja pada
orang ini, lalu berzina dengan istrinya, sedang aku diberitahu bahwa anakku itu
harus dirajam. Maka aku menebusnya dengan seratus kambing dan seorang hamba
perempuan, lalu aku bertanya kepada orang-orang ahli ilmu, maka mereka memberi
tahu bahwa anakku hanya didera seratus kali dan diasingkan selama setahun,
sedang istri orang ini harus dirajam”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Demi
Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan kalian berdua dengan
kitab Allah. Hamba perempuan dan kambing itu kembali kepadamu, sedang anakmu
harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun”. Dan engkau hai
Unais, pergilah ke tempat istri orang ini, dan tanyakan, jika dia mengaku, maka
rajamlah dia”. Abu Hurairah berkata, “Unais kemudian berangkat ke tempat
perempuan tersebut, dan perempuan tersebut mengaku”. Lalu Rasulullah SAW
memerintahkan untuk merajamnya, kemudian ia pun dirajam. [HR. Muslim juz 3,
hal. 1324]
5)
Hukuman
dan Syarat Hukuman untuk Pezina
Dalam kitab hadis-hadis seperti shahih Bukhari dan Muslim, banyak
sekali hadis-hadis tentang hukuman yang diperuntukkan bagi para pezina. Di
dalam Islam tidak ada istilah mantan pezina. Karena hukuman bagi para pezina
dalam Islam adalah sangat jelas, seorang pezina yang telah menikah (muhson)
lebih berat dari yang belum menikah (ghairu muhson) yaitu dibunuh dengan cara
dirajam sedangkan bagi orang yang belum menikah dihukum cambuk seratus kali dan
diasingkan selama setahun. Konsekuensinya bagi yang dijatuhi hukuman rajam
adalah kematian sedangkan bagi yang dicambuk, apabila masih dapat bertahan
hidup maka dia telah menjalani pertobatan dan semoga Allah mengampuni dosa
perzinahan di masa lalunya selama si pelaku tidak mengulangi perbuatannya.[7]
Ada beberapa syarat untuk dapat menerapkan hukum rajam dan
hukum-hukum hudud lainnya, antara lain :
1.
Wilayah
Hukum Resmi
Hukum
rajam dan hukum-hukum syariah lainnya harus diberlakukan secara resmi terlebih dahulu
sebuah wilayah hukum yang resmi menjalankan hukum Islam. Di dalam wilayah hukum
itu harus ada masyarakat yang memeluk hukum syariah, sadar, paham, mengerti dan
tahu persis segala ketentuan dan jenis hukuman yang berlaku. Ditambahkan lagi
mereka setuju dan ridha atas keberlakuan hukum itu.
2.
Adanya
Mahkamah Syar'iyah
Pelaksanaan
hukum rajam itu hanya boleh dijalankan oleh perangkat mahkamah syar'iyah yang
resmi dan sah. Mahkamah ini hanya boleh dipimpin oleh qadhi yang ahli di bidang
syariah Islam. Qadhi ini harus ditunjuk dan diangkat secara sah dan resmi oleh
negara, bukan sekedar pemimpin non formal.
3.
Peristiwa
Terjadi di Dalam Wilayah Hukum
Kasus
zina dan kasus-kasus jarimah lainnya hanya bisa diproses hukumnya bila
kejadiannya terjadi di dalam wilayah hukum yang sudah menerapkan syariah Islam.
Sebagai ilustrasi, bila ada orang Saudi berzina di Indonesia, tidak bisa
diproses hukumnya di wilayah hukum Kerajaan Saudi Arabia. Dan sebaliknya, meski
berkebangsaan Indonesia (orang Indonesia), tetapi kalau berzina di wilayah
hukum Kerajaan Saudi Arabia, harus dijatuhi hukum rajam.
4.
Kesaksian
4 Orang Atau Pengakuan Sendiri
Untuk
bisa diproses di dalam mahkamah syar'iyah, kasus zina itu harus diajukan ke
meja hijau. Hanya ada dua pintu, yaitu lewat kesaksian dan pengakuan diri
sendiri pelaku zina. Bila lewat kesaksian, syaratnya para saksi itu harus
minimal berjumlah 4 orang, apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian
tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktian nya itu hanya berupa saksi
semata-mata dab tidak ada bukti-bukti yang lain. Dasarnya adalah sebagai
berikut:
a.
Surah
An-Nisa’ ayat 15 “perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara
kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian,
Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”
b.
Surah
An-Nur ayat 4 ; “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”
c.
Surah
An-Nur ayat 13 “mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat
orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan
saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta”
B.
Menuduh
Zina (Qadzaf)
1.
Pengertian Qadzaf
Qadzaf dalam arti bahsa adalah الر مي بالحجارة ونحوها artinya melempar
dengan batu dan lainnya.
Jadi dapat diartikan bahwa Qadzf ialah menuduh orang lain berzina. Misalnya
seseorang mengatakan, “Wahai orang yang berzina,” atau lain sebagainya yang
dari pernyataan tersebut difaham bahwa seseorang telah menuduh orang lain
berzina.
Qadzaf dalam istilah syara’ ada dua macam yaitu:
1)
Qadzaf yang diancam
dengan hukuman had
Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat
zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.
2)
Qadzaf yang diancam
hukuaman ta’zir
Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau
selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair
muhshan.
Dari definisi qadzaf ini, Abdur Rahman Al-Jaziri
mengatakan sebagai berikut:
القذ ف عبارة أن يتهم شحص أخر بالزنا صريحا أودلا لة
Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan
seseorang kepada orang lain dengan tuduhan zian, baik dengan menggunakan lafaz
yang sharih (tegas) atau secara dilalah (tidak jelas).[8]
2.
Dasar Hukum Larangan Qadzaf
·
An Nur : 4
tûïÏ%©!$#ur
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka
deralah mereka (yang menuduh itu ) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (Qs. An-Nuur: 4).
·
An Nur : 23
¨bÎ)
Artinya :
“Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar.” (QS An-Nuur: 23)
·
Hadits Nabi
عن عائشة رضي الله عنه, قالت: لما نزل عذ ري قام
رسول الله صلي الله عليه وسلم على المنبر, فذكر ذلك وتلا القراَن, فلما نزل
أمر برجلين وامرأة فضربوا الحد .( أخرجه أحمد والأربعة وأشارإليه
البخاري)
Artinya :
“Dari Aisyah. Ia berkata: Tak kala turun (ayat)
pembebasanku. Rasulullah saw berdiri di atas mimbar, lalu ia sebut yang
demikian dan membaca Quran. Maka tak kala turun dari mimbar ia perintah supaya
(didera) dua orang laki-laki dan seseorang perempuan, lalu dipukul mereka dengan
dera”. (Riwayat oleh Ahmad dan
Imam Empat, dan Bukhari telah menyebutnya dengan isyarat). [9]
3.
Pembuktian
Untuk Jarimah Qadzaf
1.
Persaksian
Persaksian Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan dengan
persaksian dan persyaratan persaksian dalam masalah qadzaf sama dengan
persyaratan persaksian dalam kasus zina.
Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil
beberapa kemungkinan, yaitu:
a.
Memungkiri tuduhan itu
dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-laki atau perempuan.
b.
Membuktikan bahwa yang
dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau
seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
c.
Membuktikan kebenaran
tuduhan secara penuh dengan mangajukan empat orang saksi.
d.
Bila yang dituduh itu
istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh itu dapat mengajukan
sumpah li’an.
2.
Pengakuan
Pengakuan Yakni si penuduh mengakui bahwa telah
malakukan tuduhan zina kepada seseorang. Menurut sebagian ulama, kesaksian
terhadap orang yang melakukan zina harus jelas, seperti masuknya ember ke dalam
sumur (kadukhulid dalwi ilal bi’ri). Ini menunjukkan bahwa jarimah ini sebagai
jarimah yang berat seberat derita yang akan ditimpahkan bagi tertuduh,
seandainya tuduhan itu mengandung kebenaran yang martabat dan harga diri
seserang. Para hakim dalam hal ini dituntut untuk ekstra hati-hati dalam
menanganinya, baik terhadap penuduh maupun tertuduh. Kesalahan berindak dalam
menanganinya akan berakibat sesuatu yang tak terbayangkan.
3.
Sumpah
Dengan Sumpah Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf
bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya
adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang menuduh (pelaku) untuk
bersumapah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk
bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk sumpah
tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang
yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar malakukan penuduhan. Apabila orang
yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh
dibebaskan dari hukuman had qadzaf. Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak
membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang di kemukakan oleh
madzhab Syafi’i. sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan madzhab
Syafi’i.[10]
4.
Hukuman
Untuk Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua
macam, yaitu sebagai berikut.
1.
Hukuman
Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak-banyaknya delapan puluh kali. Hukuman ini
adalah merupakan hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’.
2.
Hukuman
Tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Jumlah jilid adalah 80 kali, tidak dikurangi dan
tidak ditambah, bila ia bertobat. Menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat
diterima. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dapat diterima
kembali persaksiannya apabila telah tobat. Perbedaan pendapat ini kembali
kepada perbedaan mereka dalam mengartikan Surat An-nur ayat 4tentang istisna
(eksepsi) apakah istisnanya kembali kepada kata yang terdekat ataukah kembali
kepada seluruhnya.
Di samping itu, menurut Imam Malik bila seseorang
malakukan qadzaf dan minum khamar maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan
puluh kali jilid. Karena baik qadzaf maupun minum khamar sama-sama diancam
dengan delapan puluh kali jilid. Dan karena sanksi kedua tindak pidana ini
memiliki tujuan yang sama. Sedangkan menurut ketiga Imam lainnya sanksi qadzaf
tidak dapat bergabung dengan sanksi jarimah lainnya, masing-masing berdiri
sendiri.[11]
DAFTAR ISI
Audah,
Abdul Qodir, At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy. Ensiklopedi
Hukum Pidana Islam V.
Djazuli,
A., Fiqih Jinayah, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997.
Hanafi,
Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Hassan,
A., Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani. Bandung: Diponegoro,
2002.
http://www.kompasiana.com/sulung/hukuman-cambuk-dan-rajam-harus-dilaksanakan-bagi-pezina_551275908133114050bc6ce4
(Diakses 12 Maret 2016)
Jazuli,
A., Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Marsum,
Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH
UII, 1991.
Muslich,
Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Sinar Grafika,2005.
Rahman,
A., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Rusyid, Ibnu, Bidayatul Mujtahid waNihaytul Mugtashid (terjemahan)
Iman Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid
Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
[1] Marsum, Fiqh
Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH UII, 1991),
hlm. 2
[2] A. Jazuli, Fiqh
Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 11
[3] Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 1
[4] A Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 308
[5] Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid waNihaytul Mugtashid (terjemahan)
Iman Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid
Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 600
[6] Ahmad Wardi
Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika,2005), hlm. 6-7
[7]
http://www.kompasiana.com/sulung/hukuman-cambuk-dan-rajam-harus-dilaksanakan-bagi-pezina_551275908133114050bc6ce4
[9] A.
Hassan. Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani. (Bandung:
Diponegoro,2002), hlm. 561
[10] Abdul Qodir
Audah, At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy. Ensiklopedi
Hukum Pidana Islam V, hlm. 17
[11] A. Djazuli, Fiqih
Jinayah, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997), hlm. 68-69
Comments
Post a Comment