JARIMAH ZINA DAN TUDUHAN ZINA (QADZAF)

JARIMAH ZINA
DAN TUDUHAN ZINA (QADZAF)



Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih II




















Dosen Pengampu : H. Ali As`Ad, S.Sy., S.Pd.I, M.Pd.I.








Disusun Oleh Kelompok 3:

1.      David Muhammad H.       (141310003012)         
2.      Laela Febri Q                    (1413100030    )





 

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN SEMESTER 4 A1
JEPARA 2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat pada saat ini banyak sekali kita temukan hal hal yang melanggar aturan agama, dimana mereka melakukan suatu perbuatan tanpa memikirkan apa akibat dan dosa yang akan mereka dapatkan dengan perbuatan mereka itu.
Perbuatan dosa yang pada saat era globalisasi saat ini yang sering terjadi adalah Zina, dimana perbuatan ini dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan perkawinan yang sah dan hanya menuruti kehendak  hawa nafsu dan kenikmatan seasaat. Perbuatan ini terjadi disebabkan karena lemahnya iman dan kurangnya pengetahuan akan agama, serta kurangnya kontrol dari orang tua terhadap anak anak mereka sehingga anak anak itu berbuat sesuatu yang melanggar aturan agama.
Selain permasalahan zina di atas tak kalah peliknya adalah perbuatan menuduhkan seseorang berbuat zina yang mana hal ini amat dibenci Allah dan pada kenyataannya sering dilakukan oleh masyarakat (Qazaf atau fitnah). Dimana  perbuatan ini adalah menuduh seseorang melakukan perbuatan zina tanpa adanya bukti yang kuat. Dan untuk pemaparan selanjutnya saya akan membahasnya di bab selanjutnya.

B.     Rumusan masalah
A.    Jarima Zina.
B.     Tuduhan Zina (Qadzaf).






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Jarima Zina
1.            Pengertian jarimah
Menurut bahasa kata jarimah berasal dari kata "jarama" kemudian menjadi bentuk masdar "jaramatan" yang artinya: perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan "jarim", dan yang dikenai perbuatan itu adalah "mujaram 'alaihi".[1] Menurut istilah para fuqaha', yang dinamakan jarimah adalah :
"Segala larangan syara' (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta'zir".[2]
Pengertian jarimah juga sama dengan peristiwa pidana, atau sama dengan tindak pidana atau delik dalam hukum positif.[3] Hanya bedanya hukum positif membedakan antara kejahatan dan pelanggaran mengingat berat ringannya hukuman, sedangkan syari'at Islam tidak membedakannya, semuanya disebut jarimah atau jinayat mengingat sifat pidananya.

2.            Pengertian Zina
Zina berarti hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan tampa ikatan perkawinan.[4] Tidak masalah apakah salah satu pihak atau keduanya telah memiliki pasangan hidupnya masing masing ataupun belum menikah sama sekali. Selain itu zina juga berarti  setiab persetubuhan yang terjadi bukan karena persetubuhan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena karena kepemilikan (budak).[5]
Sedangkan pengertian zina menurut para imam Mazhab adalah:
·         Malikiyah
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang mukallaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secra disepakati dengan kesengajaan.
·         Hanafiyah
Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dan qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiyar (tampa paksaan) didalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang orang kepadanya berlaku hukum islam, dan wanita itu bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.
·         Syafi’iyah
   Zina adalah memasukkan zakar kedalam farji yang diharamkan karena zatnya tampa adanya syubhat  dan menurut tabiatnya menimbulkan syhwat.
·         Hanabilah
   Zina adalah melakukan perbuatan keji  (persetubuhan), baik terhadap qubul(farji) maupun dubur.[6]

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa  jarimah zina yaitu suatu  perbuatan dosa yang dilakukan melalui hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan tampa ikatan perkawinan dan hal tersebut sangat dilarang dan merupakan dosa yang amat besar, selain itu perbuatan itu  juga akan memberikan peluang bagi berbagai perbuatan yang memalukan lainnya yang akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, yang akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan, menghancurkan nama baik dan harta benda, serta menyebarkan berbagai macam penyakit baik jasmani maupun rohani.

3.      Dasar-dasar dilarangnya Zina
Ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini merupakan hukum yang menyatakan secara tegas bahwa islam mengharamkan zina.
1)      An Nur ayat 2
èpuÏR#¨9$#ËÈ  
Artinya :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(An-Nur :2).

2)      An-nisa’ ayat 15
ÓÉL»©9$#ur 

Artinya :
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila para saksi itu telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (An-Nisa’ : 15).



3)      Al-isra’ ayat 32
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

4)      Hadits Nabi SAW :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ وَ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اْلجُهَنِيّ اَنَّهُمَا قَالاَ: اِنَّ رَجُلاً مِنَ اْلاَعْرَابِ اَتَى رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اَنْشُدُكَ اللهَ اِلاَّ قَضَيْتَ لِى بِكِتَابِ اللهِ. وَ قَالَ اْلخَصْمُ اْلآخَرُ وَ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ: نَعَمْ، فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَ ائْذَنْ لِى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: قُلْ، قَالَ: اِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيْفًا عَلَى هذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ، وَ اِنِّى اُخْبِرْتُ اَنَّ عَلَى ابْنِى الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَ وَلِيْدَةٍ. فَسَأَلْتُ اَهْلَ اْلعِلْمِ، فَاَخْبَرُوْنِى اَنَّمَا عَلَى ابْنِى جَلْدُ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبُ عَامٍ، وَ اَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هذَا الرَّجْمَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: وَ الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ َلأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ. اْلوَلِيْدَةُ وَ اْلغَنَمُ رَدٌّ. وَ عَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَ تَغْرِيْبُ عَامٍ. وَ اغْدُ يَا أُنَيْسُ اِلَى امْرَأَةِ هذَا، فَاِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا. قَالَ: فَغَدَا عَلَيْهَا، فَاعْتَرَفَتْ، فَاَمَرَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ ص، فَرُجِمَتْ. مسلم 4 : 1324
Artinya :
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhaniy, mereka berkata : Bahwa ada seorang laki-laki Badui datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah, Demi Allah, sungguh aku tidak meminta kepadamu kecuali engkau memutuskan hukum untukku dengan kitab Allah”. Sedang yang lain berkata (dan dia lebih pintar dari padanya), “Ya, putuskanlah hukum antara kami berdua ini menurut kitab Allah, dan ijinkanlah aku (untuk berkata)”. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Silakan”. Maka orang yang kedua itu berkata, “Sesungguhnya anakku bekerja pada orang ini, lalu berzina dengan istrinya, sedang aku diberitahu bahwa anakku itu harus dirajam. Maka aku menebusnya dengan seratus kambing dan seorang hamba perempuan, lalu aku bertanya kepada orang-orang ahli ilmu, maka mereka memberi tahu bahwa anakku hanya didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang istri orang ini harus dirajam”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan kalian berdua dengan kitab Allah. Hamba perempuan dan kambing itu kembali kepadamu, sedang anakmu harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun”. Dan engkau hai Unais, pergilah ke tempat istri orang ini, dan tanyakan, jika dia mengaku, maka rajamlah dia”. Abu Hurairah berkata, “Unais kemudian berangkat ke tempat perempuan tersebut, dan perempuan tersebut mengaku”. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya, kemudian ia pun dirajam. [HR. Muslim juz 3, hal. 1324]

5)      Hukuman dan Syarat Hukuman untuk Pezina
Dalam kitab hadis-hadis seperti shahih Bukhari dan Muslim, banyak sekali hadis-hadis tentang hukuman yang diperuntukkan bagi para pezina. Di dalam Islam tidak ada istilah mantan pezina. Karena hukuman bagi para pezina dalam Islam adalah sangat jelas, seorang pezina yang telah menikah (muhson) lebih berat dari yang belum menikah (ghairu muhson) yaitu dibunuh dengan cara dirajam sedangkan bagi orang yang belum menikah dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Konsekuensinya bagi yang dijatuhi hukuman rajam adalah kematian sedangkan bagi yang dicambuk, apabila masih dapat bertahan hidup maka dia telah menjalani pertobatan dan semoga Allah mengampuni dosa perzinahan di masa lalunya selama si pelaku tidak mengulangi perbuatannya.[7]

Ada beberapa syarat untuk dapat menerapkan hukum rajam dan hukum-hukum hudud lainnya, antara lain :
1.            Wilayah Hukum Resmi
Hukum rajam dan hukum-hukum syariah lainnya harus diberlakukan secara resmi terlebih dahulu sebuah wilayah hukum yang resmi menjalankan hukum Islam. Di dalam wilayah hukum itu harus ada masyarakat yang memeluk hukum syariah, sadar, paham, mengerti dan tahu persis segala ketentuan dan jenis hukuman yang berlaku. Ditambahkan lagi mereka setuju dan ridha atas keberlakuan hukum itu.
2.            Adanya Mahkamah Syar'iyah
Pelaksanaan hukum rajam itu hanya boleh dijalankan oleh perangkat mahkamah syar'iyah yang resmi dan sah. Mahkamah ini hanya boleh dipimpin oleh qadhi yang ahli di bidang syariah Islam. Qadhi ini harus ditunjuk dan diangkat secara sah dan resmi oleh negara, bukan sekedar pemimpin non formal.
3.            Peristiwa Terjadi di Dalam Wilayah Hukum
Kasus zina dan kasus-kasus jarimah lainnya hanya bisa diproses hukumnya bila kejadiannya terjadi di dalam wilayah hukum yang sudah menerapkan syariah Islam. Sebagai ilustrasi, bila ada orang Saudi berzina di Indonesia, tidak bisa diproses hukumnya di wilayah hukum Kerajaan Saudi Arabia. Dan sebaliknya, meski berkebangsaan Indonesia (orang Indonesia), tetapi kalau berzina di wilayah hukum Kerajaan Saudi Arabia, harus dijatuhi hukum rajam.
4.            Kesaksian 4 Orang Atau Pengakuan Sendiri
Untuk bisa diproses di dalam mahkamah syar'iyah, kasus zina itu harus diajukan ke meja hijau. Hanya ada dua pintu, yaitu lewat kesaksian dan pengakuan diri sendiri pelaku zina. Bila lewat kesaksian, syaratnya para saksi itu harus minimal berjumlah 4 orang, apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktian nya itu hanya berupa saksi semata-mata dab tidak ada bukti-bukti yang lain. Dasarnya adalah sebagai berikut:
a.       Surah An-Nisa’ ayat 15 “perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”
b.      Surah An-Nur ayat 4 ; “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”
c.       Surah An-Nur ayat 13 “mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta”

B.     Menuduh Zina (Qadzaf)
1.            Pengertian Qadzaf
Qadzaf dalam arti bahsa adalah الر مي بالحجارة ونحوها artinya melempar dengan batu dan lainnya.
Jadi dapat diartikan bahwa Qadzf  ialah menuduh orang lain berzina. Misalnya seseorang mengatakan, “Wahai orang yang berzina,” atau lain sebagainya yang dari pernyataan tersebut difaham bahwa seseorang telah menuduh orang lain berzina.
Qadzaf dalam istilah syara’ ada dua macam yaitu:
1)      Qadzaf yang diancam dengan hukuman had
Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.
2)      Qadzaf yang diancam hukuaman ta’zir
Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan.

Dari definisi qadzaf ini, Abdur Rahman Al-Jaziri mengatakan sebagai berikut:
القذ ف عبارة أن يتهم شحص أخر بالزنا صريحا أودلا لة

Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang lain dengan tuduhan zian, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas) atau secara dilalah (tidak jelas).[8]
2.            Dasar Hukum Larangan Qadzaf
·         An Nur : 4
tûïÏ%©!$#ur
Artinya:            
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu ) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (Qs. An-Nuur: 4).

·         An Nur : 23
¨bÎ)
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (QS An-Nuur: 23)
·         Hadits Nabi
عن عائشة رضي الله عنه, قالت: لما نزل عذ ري قام رسول الله صلي الله عليه وسلم على المنبر, فذكر ذلك وتلا القراَن, فلما  نزل أمر برجلين وامرأة فضربوا الحد .( أخرجه أحمد والأربعة وأشارإليه البخاري)      
Artinya :
Dari Aisyah. Ia berkata: Tak kala turun (ayat) pembebasanku. Rasulullah saw berdiri di atas mimbar, lalu ia sebut yang demikian dan membaca Quran. Maka tak kala turun dari mimbar ia perintah supaya (didera) dua orang laki-laki dan seseorang perempuan, lalu dipukul mereka dengan dera. (Riwayat oleh Ahmad dan Imam  Empat, dan Bukhari telah menyebutnya dengan isyarat). [9]
3.            Pembuktian Untuk Jarimah Qadzaf
1.            Persaksian
Persaksian Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan dengan persaksian dan persyaratan persaksian dalam masalah qadzaf sama dengan persyaratan persaksian dalam kasus zina.
Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan, yaitu:
a.     Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-laki atau perempuan.
b.     Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
c.     Membuktikan kebenaran tuduhan secara penuh dengan mangajukan empat orang saksi.
d.    Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.
2.            Pengakuan
Pengakuan Yakni si penuduh mengakui bahwa telah malakukan tuduhan zina kepada seseorang. Menurut sebagian ulama, kesaksian terhadap orang yang melakukan zina harus jelas, seperti masuknya ember ke dalam sumur (kadukhulid dalwi ilal bi’ri). Ini menunjukkan bahwa jarimah ini sebagai jarimah yang berat seberat derita yang akan ditimpahkan bagi tertuduh, seandainya tuduhan itu mengandung kebenaran yang martabat dan harga diri seserang. Para hakim dalam hal ini dituntut untuk ekstra hati-hati dalam menanganinya, baik terhadap penuduh maupun tertuduh. Kesalahan berindak dalam menanganinya akan berakibat sesuatu yang tak terbayangkan.
3.            Sumpah
Dengan Sumpah Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang menuduh (pelaku) untuk bersumapah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk sumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar malakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf. Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang di kemukakan oleh madzhab Syafi’i. sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i.[10]
4.            Hukuman  Untuk Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak-banyaknya delapan puluh kali. Hukuman ini adalah merupakan hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’.
2.      Hukuman Tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Jumlah jilid adalah 80 kali, tidak dikurangi dan tidak ditambah, bila ia bertobat. Menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat diterima. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dapat diterima kembali persaksiannya apabila telah tobat.  Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan mereka dalam mengartikan Surat An-nur ayat 4tentang istisna (eksepsi) apakah istisnanya kembali kepada kata yang terdekat ataukah kembali kepada seluruhnya.
Di samping itu, menurut Imam Malik bila seseorang malakukan qadzaf dan minum khamar maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan puluh kali jilid. Karena baik qadzaf maupun minum khamar sama-sama diancam dengan delapan puluh kali jilid. Dan karena sanksi kedua tindak pidana ini memiliki tujuan yang sama. Sedangkan menurut ketiga Imam lainnya sanksi qadzaf tidak dapat bergabung dengan sanksi jarimah lainnya, masing-masing berdiri sendiri.[11]



DAFTAR ISI

Audah, Abdul Qodir, At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam V.
Djazuli, A., Fiqih Jinayah, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Hassan, A., Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani. Bandung: Diponegoro, 2002.
http://www.kompasiana.com/sulung/hukuman-cambuk-dan-rajam-harus-dilaksanakan-bagi-pezina_551275908133114050bc6ce4 (Diakses 12 Maret 2016)
Jazuli, A., Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Marsum, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH UII, 1991.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,2005.
Rahman, A., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Rusyid, Ibnu, Bidayatul Mujtahid waNihaytul Mugtashid (terjemahan) Iman Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.


[1] Marsum, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH UII, 1991), hlm. 2
[2] A. Jazuli, Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 11
[3] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 1
[4] A Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 308
[5] Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid waNihaytul Mugtashid (terjemahan) Iman Ghazali Said, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 600
[6] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm. 6-7
[7] http://www.kompasiana.com/sulung/hukuman-cambuk-dan-rajam-harus-dilaksanakan-bagi-pezina_551275908133114050bc6ce4
[8] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., hlm. 60-61
[9] A. Hassan. Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani. (Bandung: Diponegoro,2002), hlm. 561
[10] Abdul Qodir Audah, At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam V, hlm. 17
[11] A. Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997), hlm. 68-69

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH TEORI NATIVISME (PSIKOLOGI PENDIDIKAN)

PROPOSAL USAHA MESIN LAS

UNSUR-UNSUR POKOK HADIS