MAKALAH TEORI NATIVISME (PSIKOLOGI PENDIDIKAN)


UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN SEMESTER 4 A1 
JEPARA 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Berbagai macam aliran atau teori dikemukakan dalam sangkut paut pembelajaran atau suatu keberhasilan dalam pendidikan. Dari berbagai permasalahan itu muncul beberapa teori yang sering dikenal dalam pensisikan yaitu empirisme, nativisme dan konvergensi. Ketiga teori ini mempunyai pengertian dan saling berlatar belakangan. Namun dalam pembahasan makalah ini, kita hanya akan membahas tentang teori nativisme, dimana pengertian atau isi dari dari teori tersebut adalah “perkembangan individu itu ditentukan oleh pembawaan atau dasar kekuatan kodrat yang dibawa sejak lahir”. Semua perkembangan itu hanya akan dipengaruhi oleh pembawaan sejak lahir dan pengaruh-pengaruh dari luar seperti lingkungan tidak bisa mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Tentu sangat jelas teori nativisme ini berlatar belakang berbeda dengan teorinya empirisme yang mempunyai konsep bahwa perkembangan individu ditentukan oleh pengalaman, sedang dasar sama sekali tidak memainkan peranan. [1]

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, pemakalah akan membahas permasalahan berikut:
a.    Apa pengertian aliran Navitisme ?
b.    Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan manusia dalam teori Navitisme ?
c.    Apa Tujuan teori navitisme dalam pendidikan ?
d.   Siapa Tokoh- tokoh aliran nativisme ?
e.    Bagaimana Pengaruh teori nativisme terhadap pendidikan di Indonesia ?
f.     Apa Kelebihan dan Kekurangan Teori Nativisme?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aliran Nativisme
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) dari kata sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer seorang filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan individu ditentukan oleh bawaan sejak ia dilahirkan. Faktor lingkungan sendiri dinilai kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada hakekatnya aliran Nativisme bersumber dari Leibnitzian Tradition, sebuah tradisi yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil perkambangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua.[2]
Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia.Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Walaupun dalam kenyataan sehari-hari sering ditemukan secara fisik anak mirip orang tuanya, secara bakat mewarisi bakat kedua orangtuanya, tetapi bakat pembawaan genetika itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan anak, tetapi masih ada faktor lain yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan anak menuju kedewasaan, mengetahui kompetensi dalam diri dan identitas diri sendiri (jatidiri).
Adapun aliran Nativisme, secara umum sangat dipenga­ruhi oleh pandangan-pandangan dari aliran Idealisme, terlihat dari konsepsi dasarnya tentang hakikat manusia itu sendiri.[3] Menurut aliran Nativisme ini, manusia mempun­yai potensi yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan dalam proses penerimaan pengetahuan. Potensi tersebut merupakan "gabungan" dari hereditas orang tuanya maupun "bakat/pembawaan" yang berasal dari dirinya sendiri. Kontribusi lingkungan baginya tidaklah membawa konsekuensi apa-apa terhadap pengetahuan manusia. 
Bahkan Schopenhaur (1778-1860) tokoh Nativisme mengatakan bahwa potensi/bakat manusia merupakan nasib malang manusia karena posisinya yang vital dalam menentukan pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan manusia. Potensi manusia yang terwujud dalam bakat/pembawaan itulah yang merupakan hakikat dari manusia dan ia tidaklah dapat dirubah oleh pengaruh lingkungan. Dengan potensi ini, faktor lingkungan tidaklah berpengaruh pada proses penerimaan pengetahuan dan pendidikan manusia. Schopenhour mengkristalisasikan gagasannya dari konsep umum, bahwa alam semesta termasuk manusia, berjalan dan ditentukan oleh faktor "kemauan" yang ia anggap sebagai hakikat sesuatu.
Hakikat manusia itu sendiri menurutnya menjadi gagasan umum tokoh-tokoh Nativisme adalah kemauan itu sendiri yang terwujud ke dalam bakat dan pembawaan. Faktor hereditas dan pembawaan manusia dipandang sebagai hal yang urgen dan menentukan. Ia juga dianggap sebagai "ciri khas" dari kepribadian manusia dan bukanlah hasil hasil dari pendidikan karena kalau ia merupakan hasil dari pendidikan, maka tentu faktor eksternal (ling­kungan) sangat berperan terhadapnya. Hal Ini sangat kon­tradiktif dengan pandangan dasar aliran filsafat Nativisme tersebut. Tingkat pendidikan seseorang dengan demikian sangat berkaitan dengan faktor hereditas dan pembawaan ini, karena ia menjadi "format" sekaligus "modal utama" dari tingkat pendidikan tersebut. Seorang yang berbakat dan mempunyai pembawaan yang rendah dalam suatu bidang pengetahuan, maka ia tidak akan pernah menguasai bidang pengetahuan tersebut walaupun ia telah berupaya semaksimal mungkin. Dengan pandangan-pandangan seperti ini, aliran Nativisme dituduh sebagai aliran filsafat yang mengabaikan aspek pendidikan bahkan disebut aliran pesimisme. Namun apabila dilihat secara lebih mendalam, julukan "pesimisme" terhadap aliran Nativisme ini tidaklah tepat secara kese­luruhan. beberapa hal dari pandangan-pandangan aliran ini justru merupakan "pendorong" bagi berbagai upaya "preven­tif" terhadap bakat dan pembawaan yang merupakan potensi manusia.[4]

B.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia dalam Teori Navitisme
Menurut teori nativisme ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia yaitu :[5]
a)      Faktor Genetik
Orang tua sangat berperan penting dalam faktor tersebut dengan bertemunya atau menyatunya gen dari ayah dan ibu akan mewariskan keturunan yang akan memiliki bakat seperti orang tuanya. Banyak contoh yang kita jumpai seperti orang tunya seorang artis dan anaknya juga memiliki bakat seperti orang tuanya sebagai artis.
b)      Faktor Kemampuan Anak
Dalam faktor tersebut anak dituntut untuk menemukan bakat yang dimilikinya, dengan menemukannya itu anak dapat mengembangkan bakatnya tersebut serta lebih menggali kemampuannya. Jika anak tidak dituntut untuk menemukannya bakatnya, maka anak tersebut akan sulit untuk mengembangkan bakatnya dan bahkan sulit untuk mengetahui apa sebenarnya bakat yang dimilikinya.
c)      Faktor Pertumbuhan Anak
Faktor tersebut tidak jauh berbeda dengan faktor kemampuan anak, bedanya yaitu disetiap pertumbuhan dan perkembangannya anak selalu didorong untuk mengetahui bakat dan minatnya. Dengan begitu anak akan bersikap responsiv atau bersikap positif terhadap kemampuannya.
Dari ketiga faktor tersebut berpengaruh dalam perkembangan serta kematangan pendidikan anak. Dengan faktor ini juga akan menimbulkan suatu pendapat bahwa dapat mencipatakan masyarakat yang baik.
Dengan ketiga faktor tersebut, memunculkan beberapa tujuan dalam teori nativisme, dimana dengan  faktor-faktor yang telah disampaikan dapat menjadikan seseorang yang mantap dan mempunyai kematangan yang bagus.

C.           Tujuan Teori Nativisme dalam Pendidikan
Didalam teori ini menurut G. Leibnitz:Monad “Didalam diri individu manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sedangkan dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan :
1)   Dapat memunculkan bakat yang dimiliki.
Dengan faktor yang kedua tadi, diharapkan setelah menemukan bakat yang dimiliki, dapat dikembangkan dan akan menjadikan suatu kemajuan yang besar baginya.
2)   Menjadikan diri yang berkompetensi.
Hal ini berkaitan dengan faktor ketiga, dengan begitu dapat lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan bakatnya sehingga mempunyai potensi dan bisa berkompetensi dengan orang lain.

3)   Mendorong manusia dalam menetukan pilihan.
Berkaitan dengan faktor ketiga juga, diharpkan manusia bersikap bijaksana terhadap apa yang akan dipilih serta mempunyai suatu komitmen dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dipilihnya.
4)   Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
Artinya dalam mengembangkan bakat atau potensi yang dimiliki, diharapkan terus selalu dikembangkan dengan istilah lain terus berperan aktif dalam mengembangkannya, jangan sampai potensi yang dimiliki tidak dikembangkan secara aktif.
5)   Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, denga artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan baakatnya sehingga bisa lebih optimal.

D.    Tokoh- tokoh Aliran Nativisme
a.         Arthur Schopenhauer
Dilahirkan di Danzig pada tanggal 22 Februari 1788. Schopenhauer dibesarkan oleh keluarga pembisnis. Ia merupakan seorang jenius dengan karyanya yang terkenal adalah The World as Will and Representation. Ia mempunyai pandangan bahwa Pembawaanlah yang maha kuasa, yang menentukan perkembangan anak. Lingkungan sama sekali tidak bisa mempengaruhi, apalagi membentuk kepribadian anak. Perkembangan ditentukan oleh faktor pembawaannya, yang berarti juga ditentukan oleh anak itu sendiri
b.        Immanuel Kant
Di lahirkan di Konigsberg pada 22 April 1724. Ia merupakan filsof Jerman dan karyanya yang terkenal adalah Kritik der Reinen Vernunft. Ia berpendapat bahwa :
Ø Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
Ø Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
Ø Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.
c.         Gottfried Wilhemleibnitz
Merupakan filsuf Jerman yang lahir di Leipzig, pada 1 Juli 1646. Gottfried mempunyai pandangan bahwa perkembangan manusia sudah ditentukan sejak lahir. Manusia hidup dalam keadaan yang sebaik mungkin karena dunian ini diciptakan oleh Tuhan.
Aliran nativisme hingga kini masih cukup berpengaruh dikalangan beberapa orang ahli, tetapi tidak semudah dulu lagi. Diantara ahli yang dipandang sebagai nativis ialah Noam A. Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli linguistic yang sangat terkenal hingga saat ini. Chomsky menganggap bahwa perkembangan penguasaan bahasa pada manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh proses belajar, tetapi juga (yang lebih penting) oleh adanya “biological predisposition” (kecenderungan biologis) yang dibawa sejak lahir.
Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir itulah yang menentukan perkembangannya dalam kehidupan. Nativisme berkeyakinan bahwa pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaaan. Dengan demikian menurut mereka pendidikan tidak membawa manfaat bagi manusia. Karena keyakinannya yang demikian itulah maka mereka di dalam ilmu pendidikan disebut juga aliran Pesimisme Paedagogi.


E.     Pengaruh Teori Nativisme terhadap Pendidikan di Indonesia
Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860)). Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatihan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.[6]
Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak. Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang dengan baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.

F.     Kelebihan dan Kekurangan Teori Nativisme.
a.       Kelebihan
                       1.     Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal ini, memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya.
                       2.     Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
Jadi dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain.
                       3.     Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
Adanya teori ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.
                       4.     Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.
                       5.     Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, dengan artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
b.      Kekurangan
Teori ini memiliki pandangan seolah-olah sifat-sifat manusia tidak bisa diubah karena telah ditentukan oleh sifat-sifat turunannya. Bila dari keturunan baik maka akan baik dan bila dari keturunan jahat maka akan menjadi jahat. Jadi sifat manusia bersifat permanen tidak bisa diubah. Teori ini memandang pendidikan sebagai suatu yang pesimistis serta mendeskreditkan golongan manusia yang “kebetulan” memiliki keturunan yang tidak baik.[7]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dengan demikian, menurut aliran Nativisme, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir  ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Tetapi, teori ini juga tidak bisa dipungkiri dari kenyataan bahwa hasil perkembangan anak ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetic dari kedua orangtuanya.
Walaupun dalam kenyataan sehari – hari sering ditemukan secara fisik anak mirip orang tuanya, secara bakat mewarisi bakat kedua orang tuanya, tetapi bakat pembawaan genetika itu bukan satu – satunya factor yang menentukan perkembangan anak, tetapi masih ada factor lain yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan anak menuju kedewasaan, mengetahui kompetensi dalam diri dan identitas diri sendiri ( jati diri ).

B.       Penutup
Kita sebagai generasi seharusnya lebih mengembangkan lagi perkembangan dalam diri kita, tidak hanya mengandalakaan pembentukan dari sejak lahir saja.
Demikianlah makalah kami. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Kami sadar makalah kami jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran dari pembaca kami tunngu demi penyempurnaan makalah berikutnya.






DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001.
http://rimmu.wordpress.com/2010/02/08/Aliran Aliran pendidikan
M, Y, Q. 25 Januri 2009, Aliran – Aliran Klasik Dalam Pendidikan (Online) Alamat: (www.aliran-aliran-dalam-pendidikan) diakses 12 Maret 2016.
Nata, Abuddin, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Suwarno, Wiji, Dasar–dasar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2006.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010.

 


[1] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), cet 1, hlm. 15
[2] Wiji Suwarno, Dasar–dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2006). hlm. 141.
[3] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), Cet-2, hlm. 69.
[4] http://rimmu.wordpress.com/2010/02/08/Aliran Aliran pendidikan
[5] M, Y, Q. 25 Januri 2009, Aliran – Aliran Klasik Dalam Pendidikan (Online) Alamat: (www.aliran-aliran-dalam-pendidikan) diakses 12 Maret 2016.
[6] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 350.

Comments

Popular posts from this blog

PROPOSAL USAHA MESIN LAS

UNSUR-UNSUR POKOK HADIS