MAHAR (FIQIH II)


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahar
Kata “Mahar” barasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika di langsungkan akad nikah”.
Mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama yaitu mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar dan alaiq. Keseluruhan tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima. Ulama fiqh memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda secara substansial. Di antaranya seperti yang dikemukakan ulama Hanafiyah sebagai berikut :
هو المال يحب في عقد النكاح على الزوج في مقابلة البضع
Harta yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang di terimanya. (Ibnu al-Humam, 316)
Dalam tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab fiqih mahar itu meskipun wajib, namun tidak mesti di serahkan waktu berlangsungnya akad nikah, dalam arti boleh diberikan akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah itu. Definisi yang diberikan oleh ulama waktu itu sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh karena itu, definisi tepat yang dapat mencakup dua kemungkinan itu adalah : “pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah”.
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan secara suka rela di luar akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak disebut mahar.[1]
B.     Hukum Mahar
Dari definisi mahar tersebut diatas di jelaskan bahwa hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa, suami yang tidak mnyerahkan mahar kepada istrinya.[2]
C.    Dasar hukum Mahar dalam Al-Quran dan Hadits
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mepersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
Dalil kewajiban mahar dari Al-Quran adalah firman Allah SWT:
وَءَاُتوا االنِّسَاءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’:4)
Demikian juga firman Allah SWT:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. (QS. An-Nisa’:24)
 Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi SAW:
عن عامر بن ربيعة ان امرأة من بنى فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين, فقالت: نعم. فأجا زه (رواه احمد و ابن ماجه والترمذى)
Dari ‘Amir bin Robi’ah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazaroh kawin atas maskawin sepasang sandal.  Rasulullah SAW lalu bertanya kepada perempuan tersebut: Apakah engkau ridho dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan tersebut menjawab: Ya.  Rasulullah akhirnya meluluskannya”. (HR. Ahmad)
Juga sabda Rasulullah SAW:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
“Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori)
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajibannya.[3]
Ibnu Abbas mengisahkan,
لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِّي فَاطِمِةَ قال رسول الله صلى عليه وسلم: أَعْطِهَا شَيْئًا, فقال: مَا عِنْدِيْ مِن شَيءٍ, قال: اَيْنَ دِرْعُكَ الحُطَمِيَّةُ؟ قال: هِيَ عِنْدِي, قال: فَأَعْطِهَا اِيَّاهُ.
Ketika Ali ibn Abi Thalib menikahi Fathimah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Berilah ia sesuatu (mahar)”, Ali menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa”, Rasulullah SAW bertanya: “Mana baju besimu?”, Ali menjawab: Ada padaku”, maka Rasulullah SAW bersabda: “Berikan itu kepadanya”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa mahar merupakan salah satu rukun pernikahan. Akan tetapi mahar itu tidak harus disebutkan dalam akad nikah. Allah SWT berfirman,
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً....
Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya….”  (QS. Al-Baqarah:236)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa mahar boleh tidak disebutkan dalam akad nikah”. Akan tetapi, demi menghindari perbedaan pendapat dan pertikaian, mahar itu lebih baik disebutkan disaat pelaksanaan akad nikah.[4]
Adapun ijma’ telah terjadi konsensus sejak masa kerasulan beliau sampai sekarang atas disyariatkannya mahar dan wajib hukumnya. Kesepakatan ulama pada mahar hukumnya wajib. Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab bercampur intim, mereka berbeda pada dua pendapat. Pendapat yang lebih shahih adalah sebab bercampur intim sesuai dengan lahirnya ayat.[5]
D.    Macam-macam Mahar



MAKALAH LENGKAP 




MAKALAH MENARIK LAINNYA
  1. TOKOH DAN KITAB HADITS
  2. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS
  3. MENGENAL TOKOH DAN KITAB HADITS


[1] Prof.DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3, (Jakarta : Prenada Media, 2006), hlm. 84-85.
[2] Ibid, hlm. 85.
[3] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak. (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 177.
[4] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah Wanita, (Jakarta: Pena PundiAksara, 2007), hlm. 175.
[5] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, loc.cit.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH TEORI NATIVISME (PSIKOLOGI PENDIDIKAN)

PROPOSAL USAHA MESIN LAS

UNSUR-UNSUR POKOK HADIS