HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA



                     HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITASNYA

A.          RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja jenis hadits yang ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya ?
2. Bagaimana definisi hadits shohih ?
3. Bagaimana definisi hadits hasan ?
4. Bagaimana definisi hadits  dho’if ?


B.          PEMBAHASAN

a.     Hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya.

  Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya, hadits terbagi menjadi dua golongan, yaitu : Hadits maqbul dan Hadits mardud.[1]

1.      Hadits Maqbul
       Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz ( yang diambil ) dan mushaddaq ( yang dibenarkan atau diterima ). Sedangkan menurut istilah seperti yang di kemukakan mahmud yunus ( 1972:30 )
        المقبول هو ما دل دليل على رجحان ثبوته  فى  نفس الامر 
              “ Maqbul adalah dalil yang bisa menguatkan pada suatu permasalahan”[2]
              Dan menurut mahmud thahhan :
المقبول هو ما ترجح صدق المخبر
             “ Hadits yang mempunyai nilai lebih kebenaran  khabarnya” .

ما توا فرت فيه جميع شروط القبول
           “ hadits yang telah sempurna padanya,  syarat-syarat penerimaan ”.
       
  Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan  dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rowi yang adillagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz  dan tidak ber’illlat. Tidak  semua hadis maqbul boleh  diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadis maqbul ada yang ma’mulun bih yakni hadis yang bisa diamalkan dan ada  yang  ghair ma’mulin bih yakni hadis yang tidak bisa diamalkan. Maka hadis maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hasan.
2.    Hadis Mardud
              Mardud menurut bahasa berarti “ yang ditolak ” atau “ yang diterima ”.             sedangkan mardud menurut istilah ialah :
فقد تلك الشروط او بعضها
“ hadis yang tidak mempunyai syarat-syarat  atau sebagian syarat  hadis maqbul”.[3]

b.  Pengertian Hadits Shohih

         Sahih  menurut bahasa lawan dari kata “ saqim ” , artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil .[4] Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW., atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz dan terkena illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[5]

 Menurut bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu  pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman ( al-mu’asharah ). Sedangkan menurut muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung. [6]

         Disamping persyaratan yang telah disepakati sebagaimana di atas, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa bukhori juga menetapkan syarat “ terjadinya periwayatan harus dengan cara al-Sama’ ”.[7] dengan demikian dapat dinyatakan bahwa persyaratan hadis sahih yang ditetapkan oleh Imam Bukhari lebih ketat dari pada persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim.
Ibnu Al-Shalah (w. 643 H ). [8] memberikan pengertian hadits shahih sebagai berikut :

الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط
الى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا
“ hadis sahih yaitu  hadis musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan oleh orang yang adil-dhabit dari orang yang adil lagi dhabit jug ahingga akhir sanad, serta tidak ada kejanggalan dan cacat.

Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh al-suyuthi : [9]
ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
“ hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syaz dan tidak ber’illat”.

Ajjaj al-khatib memberi pengertian hadis sahih, yang merupakan hasil ramuan dari pengertian-pengertian yang para ulama ahli hadis yang hidup pada masa sebelumnya menjadi :
مااتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة
“ yaitu yang bersambung sanadnya dengan riwayat yang dapat dipercaya dari yang bisa dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya”. [10]

1.         Syarat-syarat hadis sahih 
Dari beberapa definisi tentang hadist shahih sebagaimana tersebut di atas , dapat dinyatakan bahwa syarat-syaarat hadits shahih adalah :

a.       Sanadnya bersambung ( ittishal al-sanad )
     Yang dimaksud ketersambungan sanad  ialah bahwa  setiap rawi hadis yang bersangkutan bener-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[11]
      Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian berikut: mencatat semua nama rowi dalam sanad yang diteliti, mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi,dan meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
     Jadi, suatu hadis dapat dinyatakan bersambung apabila: seluruh rawi dalam sanad itu  benar-benar adil dan dhabit,antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad.

b.      Perawinya adil
     Kata adil menurut bahasa biasa berarti lurus, tidak berat sebelah,tidak dzolim, tidak menyimpang, tulus, jujur. Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, dan terjaganya sifat muru’ah.

c.       Perawinya dhabit
Kata “ dhabit ” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna. Seorang perowi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu hajar al-asqolani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan.

d.      Tidak syadz ( janggal )
          Hadis yang tidak syadz ( ghair syadz ), adalah hadis yang matannya tidak  bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.

e.       Tidak ber-illat ( ghair mu’allal )
         Kata ‘illat yang bentuk jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Maka yang dimaksud hadis berillat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
         Menurut istilah, ‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau  yang samar-samar, yang artinya dapat merusak kesahihan hadis tersebut. Maka yang  dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang  didalamnya tidak terdapat  kesamaran atau keragu-raguan.
           
2.      Macam-macam hadis sahih

     Para ulama membagi hadis sahih ini dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a.       Shahih lidzatihi, yaitu yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana  tersebut di atas.
b.      Shahih lighairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul 
( a’la sifat al-qubul )

Sebagian Ulama’ Hadits membagi tingkatan hadist shahih, berdasaarkan kepada kriteria yang dipedomani oleh para mukharrij (perawinya yang terakhir yang membukukan ) Hadits Shahih tersebut kepada tujuh tingkatan :

1.      Hadis yang disepakati oleh Bukhori dan Muslim.
2.      Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori sendiri.
3.      Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
4.      Hadis yang diriwayatkan sesuai persyaratan  Bukhori dan Muslim.
5.      Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhori.
6.      Hadis yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslim.
7.      Hadis-hadis yang disahihkan oleh selain bukhori dan muslim, seperti Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban. [12]

MAKALAH LENGKAP DOWNLOAD DI BAWAH
KLIK INI

1. Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut : Dar al-‘Ilm li al-Malayin),1973, h.141
[2]  ‘Ajjaj al-khatib, Ushul al-Hadist, h. 303
[3]  Ibid
[4] T.M.Habsi Ash-shiedieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.hlm.117
[5] Ibid. h : 132
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani,jilid I, hlm :12
[7]  Al-Suyuthi, juz I, hlm : 70
[8] Ibnu Al-Shalih, Ulum al-Hadits yang kemudian dikenal dengan Muqaddimah Ibn Al-Shalah , hlm ; 10
[9] Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf Al-Nawawie, Al-Taqrib li Al-Nawawy Fann Ushul al-Hadits, hlm : 2
[10]  ‘Ajjaj Al-Khatib, op.cit, hlm : 305
[11] Nuruddin ‘Itr.manhaj An-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits.Terj.mujio.Bandung: Remaja Rosda Karya. 1994.hlm.2
[12] Al-Tahhan, Usul At-Takhrij wa Dirasah  Al-Asanid, hlm : 42-43

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH TEORI NATIVISME (PSIKOLOGI PENDIDIKAN)

PROPOSAL USAHA MESIN LAS

UNSUR-UNSUR POKOK HADIS