ILMU KALAM (mu'tazilah)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahirnya Mazhab Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah muncul pertama kali di masa pemerintahan Dinasti Umayyah, namun mulai menjadi bahan perbincangan kalangan intelektual muslim dalam waktu yang cukup lama yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Dalam hal ini, para ulama’ berbeda pendapat mengenai kapan munculnya mazhab ini. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa mazhab Mu’tazilah lahir dari kelompok yang semula secara politik menjadi pendukung imam Ali ra, kemudian mereka melepaskan diri dari permasalahan politik dan beralih memfokuskan diri kedalam permasalahan akidah yaitu disaat imam Hasan ra. mengambil sikap mengalah dan menyerahkan kekhilafahan ke tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Senada dengan pernyataan ini, Imam Abu al- Hasan ath- Tharaifi menyatakan dalam bukunya yang berjudul Ahlu al- Ahwa wa al- bida’: “Mereka menamakan diri mereka Mu’tazilah. Ini terjadi ketika Imam Hasan bin Ali ra. membaiat Muawiyah dan menyerahkan  kursi kekhilafahan kepadanya. Kaum Mu’tazilah berlepas diri dari Muawiyah, Imam Hasan ra. dan kebanyakan orang saat itu. Mereka adalah orang-orang yang semula secara politik menjadi pendukung Ali ra. yang kemudian lebih memilih untuk tinggal di rumah mereka dan masjid-masjid. Mereka berkata: kami akan lebih memfokuskan diri pada dunia ilmu dan ibadah.”[1]
Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa pembesar kalangan Mu’tazilah yang pertama adalah Washil bin Atho’. Ketika itu ada seorang tabi’in yang terkenal bernama Hasan al-Basri (w.110 H) yang menyelenggarakan majelis pengajarannya di masjid kota Basrah. Diantara muridnya yang paling pandai ialah Washil bin Atho’ (w.131 H). Suatu hari Imam Hasan al-Basri menerangkan bahwa “seorang Islam yang telah beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kemudian orang itu melakukan dosa besar, lalu orang itu meninggal dunia sebelum bertaubat, menurut Imam Hasan al-Basri orang itu tetap muslim. Hanya saja muslim yang durhaka (ma’shiyat). Di akhirat kelak, dia dimasukkan ke dalam neraka untuk sementara waktu guna menerima hukuman atas perbuatan dosanya itu. Sampai batas tertentu sesudah menjalani hukuman itu, dia dikeluarkan dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam surga”.
Washil bin Atho’ mempunyai pendapat yang berbeda dengan Imam Hasan al-Basri. Washil berkata: “Menurut saya, seorang muslim yang melakukan dosa besar tidak termasuk golongan kaum Mukmin, tetapi orang berada di antara dua tempat”.
Setelah peristiwa tersebut, Washil mengasingkan diri dari majlis Imam Hasan al-Basri dan membentuk majlis baru di dalam majlis tersebut. Dari kisah ini dapat kita pahami, mengapa golongan ini disebut dengan golongan Mu’tazilah (yang secara bahasa kata Mu’tazilah berarti orang-orang yang mengasingkan diri).
B.     Ajaran-ajaran Mazhab Mu’tazilah
Imam Abu Hasan al-Khayyath dalam bukunya yang berjudul  al-Inthishar menyatakan : seorang tidak berhak menyandang gelar Mu’tazilah sampai di dalam dirinya terkumpul lima pokok ajaran mazhab ini yaitu meyakini prinsip tauhid (keesaan Allah SWT), keadilan-Nya, kepastian adanya janji dan ancaman-Nya, Manzilah baina al- Manzilatain(Tempat diantara dua tempat) dan yang terakhir adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Jika kelima ajaran pokok ini terkumpul dalam diri seseorang, maka ia berhak menyandang nama Mu’tazilah. Inilah lima ajaran pokok mazhab Mu’tazilah, barang siapa yang tidak sejalan dengan ajaran mereka dan tidak mengikuti cara berpikir yang mereka gunakan berarti bukan bagian dari kelompok ini.[2]
Penjelasan kelima prinsip ajaran Mu’tazilah sebagai berikut:
1.      Tauhid
Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan utama. Sebenarnya ajaran tauhid ini bukan monopoli Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang Islam. Hanya saja Mu’tazilah mempunyai tafsir yang khusus sedemikian rupa dan mereka mempertahankannya, sehingga mereka menamakan dirinya sebagai Ahlul ‘Adli Wat Tauhid.[3]
Menurutnya, Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan jisim, bukan jauhar, bukan ‘aradh, tidak berlaku padanya masa, tidak mungkin mengambil ruang atau tempat, tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak-azalian-Nya, tidak terbatas, tidak melahirkan dan dan tidak dilahirkan, tidak dapat dicapai dengan panca indera, tidak bisa dilihat dengan mata kepala, tidak bisa digambarkan dengan akal pikiran. Tuhan Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang diciptakan-Nya dan tidak membikin makhluk karena mencontoh yang telah ada sebelumnya.
Kaum Mu’tazilah memakai istilah “Tauhid” tersebut kepada apa yang telah dibayangkan di atas tadi: yaitu bahwa kaum Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat Tuhan. Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qodim itu sama sekali. Sebab, kalau seandainya memang ada sifat-sifat yang Qodim, tentulah akan ada beberapa yang Qodim, dan ini adalah kepercayaan syirik!
Mereka berpendapat bahwa Allah Swt adalah ‘Alim (Mengetahui) dengan dzat-Nya, Qodir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyyum (Hidup) dengan dzat-Nya, Mutakallim (Berbicara) dengan dzat-Nya. Berdasarkan atas pendapat tersebut maka mereka berkata, bahwa Al-Quran adalah makhluk, karena tak ada Yang Qodim kecuali Allah Swt.
Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh Mu’tazilah menggelari mereka dengan Mu’atthilah, sebab mereka telah meniadakan sifat-sifat Tuhan dan menghapuskannya. Dan karena prinsip ini pulalah maka kepada orang-orang yang menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan lalu diberikan gelar Shifatiyah.Dan karena prinsip pertama dan kedua di atas, maka kaum Mu’tazilah sendiri menyebut diri mereka dengan “Ahlul ‘Adhi Wat Tauhid” (pengemban keadilan dan ketauhidan).
Berdasarkan prinsip tauhid ini mereka berkeyakinan bahwasanya Allah SWT di hari kiamat nanti tidak akan dapat dilihat oleh mata manusia. Sebab, jika Allah SWT dapat dilihat oleh mata, berarti Allah SWT mempunyai jasad (bentuk) dan berada pada arah tertentu. Sesungguhnya sifat Allah SWT adalah Dzat-Nya sendiri. Sebab, jika tidak demikian maka itu berarti terdapat beberapa sifat-Nya yang sama-sama terdahulu.
2.      Keadilan
        Keadilan berarti meletakkan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena kekuasaan yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. Tuhan tidak memerintah kecuali apa yang dilarang-Nya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkannya dan berlepas diri dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya. Dengan dasar keadilan ini, Mu’tazilah menolak golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, bahkan manusia dalam keterpaksaan.
        Kaum Mu’tazilah menggunakan istilah keadilan tersebut kepada apa yang telah disebutkan di atas tadi, yaitu manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri, yang baik ataupun yang jelek, aniaya, dan perbuatan yang di pandang kekafiran dan kemaksiatan. Sebab, kalau seandainya Allah Swt. Memang menciptakan kezaliman berarti ia adalah zalim. Mereka sepakat bahwa Allah SWT. hanyalah berbuat yang patut dan yang baik.
Berdasarkan kepada prinsip tersebut, maka kaum Mu’tazilah ini juga disebut “Al ‘Adhiyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat tentang keadilan. Dan karenanya juga mereka disebut kaum “Qadariyah” yaitu orang-orang yang menentang adanya Qadha’ dan Qadar.[4]
3.      Janji dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberikan pahala dan mengancam akan memberikan siksaan, pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik maka dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik yang tidak menerima pahala.
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa seorang Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taat dan tobat, dia berhak untuk mendapatkan pahala. Juga berhak untuk mendapatkan tafaddhul(karunia Tuhan), yaitu suatu pengertian lain di balik pahala. Dan apabila seorang mukmin meninggal tanpa bertobat lebih dahulu dari sesuatu dosa besar yang telah di perbuatnya, maka dia di tempatkan dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksa yang diterimanya lebih ringan daripada siksa orang kafir. Inilah yang mereka sebut janji dan ancaman.
4.      Tempat di Antara Dua Tempat
        Berkenaan dengan permasalahan prinsip ini, Imam asy-Syahrastani mengatakan, “Untuk mengetahui penjelasan mengenai masalah ini, Washil bin Atha’ berkata, sesungguhnya iman adalah sekumpulan sifat-sifat baik yang apabila semuanya terkumpul dalam diri seseorang, maka ia dianggap beriman. Iman adalahsebuahungkapan yang di pakai untuk menggambarkan sesuatu yang terpuji. Orang fasik tidak terkumpul dalam dirinya sifat-sifat kebaikan tersebut. Oleh karena itu, seorang yang fasik tidak layak disebut dengan gelar yang biasa dipakai untuk menunjukkan orang-orang baik.
        Dengan demikian, orang fasik tidak dapat disebut sebagai orang mukmin. Meski demikian, orang fasik juga tidak disebut dengan sebutan kafir, sebab ia bersyahadat (bahwa Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya). Dan masih mempunyai beberapa amal shalih. Yang tidak dapat kita pungkiri. Oleh karena itu, jika ia meninggal dunia dalam keadaan membawa dosa besar dan belum bertaubat, maka ia menjadi ahli neraka dan kekal di dalamnya. Sebab di akhirat nanti hanya ada dua golongan: satu golongan di surga dan satu golongan lagi di neraka. Meskiia (orang fasik masuk kedalam neraka, namun ia akan menerima keringanan siksa dan tingkatan siksanya tidak seperti siksaan yang di berikan kepada orang kafir.
5.      Amar Makruf Nahi Munkar
    Berkenaandenganprinsipinimerekamenyatakanbahwasetiapmuslimwajibmenerapkanamarmakrufnahimunkar demi tersebarnyadakwahislam. Inidilakukandengancaramemberikanpetunjukdanmembimbing orang-orang yang tersesat. Setiap orang berkewajibanmelakukandakwahsesuaidenganpotensi yang dimilikinya.Jikamampudenganlisan, makadenganlisan, jikamampudenganpedang, makadenganpedang.
        Dari uraiantersebut, makadapatlahdiambilbeberapakesimpulanterhadapkaumMu’tazilah, sebagaiberikut:
1)      KaumMu’tazilahterlaluberlebih-lebihandalammenghormatidanmengagungkanakal, sedangakalitusendiriseringkelirudansalah. Penghormatanterhadapakaltelahmenyebabkansebagianmerekaberpendapatbahwagerakansurgadannerakaakanterhenti, danmenyebabkansurgadannerakaitubeserta orang-orang yang adadidalamnyamenjadidiamdantenangselama-lamanya. Padasaatdiamitulahpenduduksurgamenikmatisegalamacamkelezatan, danpenduduknerakamerasakansegalamacamsiksa.
2)      .      Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
FirqohMu’tazilahinimempunyaiduapusatpergerakan, yaitu:
a.       Di Basrah: padapermulaanabad II H, di pimpinolehWashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid, diperkuatoleh murid-muridnyaUtsman at-Thawil, Hafsh bin Salim, Hasan bin Zakwan, Khalik bin Sofwan, dan Ibrahim bin Yahya al-Madani.
Padapermulaanabad III H, Mu’tazilah yang berpusat di Basrahdipimpinoleh Abu Hudzail al-‘ Allaf (w. 235 H), Ibrahim bin Sayar an-Nazham (w. 221 H), Abu Basyar al-Marisi (w. 218 H), Utsman al-Jahiz (w. 255 H),  Ibnu al-Mu’ammar (w. 210 H), dan Abi Ali al-Juba’I (w.303 H).
b.      Di Baghdad: dipimpinolehBasyar bin al-Mu’tamar, di bantuoleh Abu Musa al-Murdan, Ahmad bin Abi Dawud (w. 240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w. 234 H), danJa’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).[5]


 


C.    Sekte- sekteMu’tazilah:
Sekte-sekteMu’tazilah, As-Syahrostanidalam Al- Milal wan Nihaladaduabelassekte, yaitu:
Al- Washiliyah :


Makalah lengkap klik bawah

makalah menarik lain 


[1]Muhammad Abu Zahrah,Imam Syafi’i Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih cet. 1, 2005,Jakarta: Lentera. Hlm. 193-194.
[2]  Ibid, hlm. 195
[3] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012),hlm.  168-169.
[4]  Ibid, hlm. 170
[5]Ibid, hlm. 165

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH TEORI NATIVISME (PSIKOLOGI PENDIDIKAN)

PROPOSAL USAHA MESIN LAS

UNSUR-UNSUR POKOK HADIS