Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadist
PEMBAHASAN
A. Hadist
Pada Masa Rasullah SAW, Periode Abad I H
Periode
ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam).[1]
1. Cara
Rasul dalam Menyampaikan Hadist
Umat islam pada masa ini dapat secara
langsung memperoleh hadist dari Rasul SAW sebagai sumber hadist. Allah
berfirman QS Al-Najm (53): 3-4
Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanya wahyu yang diwayuhkan (kepadanya)
Kedudukan nabi yang demikian ini menjadikan
semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai refrensi bagi para sahabat.
Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan rasullah ini. Mereka proaktif
berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak mereka
ketahui. Mereka menaati semua yang
dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar
keberagamaannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan. Menurut riwayat Bukhori,
Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk melahirkan rasa ridak jenuh dikalangan
sahabat Rasul menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para
sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.[2]
Tempat yang biasa digunakan Rasullah bervariasi, seperti di masjid, rumahnya
sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di
rumah).[3]
a) Ada
beberapa cara rasul dalam menyampaikan hadist kepada para sahabat, yaitu :
melalui jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majelis al-‘ilmi. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadist, sehingga mereka berusahan berkonsentrasi dan antusias dalam mengikuti kegiatan dan ajaran Nabi SAW.
melalui jamaah pada pusat pembinannya yang disebut majelis al-‘ilmi. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadist, sehingga mereka berusahan berkonsentrasi dan antusias dalam mengikuti kegiatan dan ajaran Nabi SAW.
b) Dalam
banyak kesempatan rasul juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian disampaikan kepada oranag lain. Hal ini karena
terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa,
baik karena disengaja oleh rasul atau secara kebetulan para sahabat yang hadir
hanya beberapa saja, bahkan hanya satu orang.
c) Melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh
makkah.
2. Perbedaan
Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat
sebagai sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW. Mereka itu adalah :
a) Sahabat
yang tergolong Al- Sabiqunal Awwalun (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ibn mass’ud). Karena lebih awal masuk islam daripada
sahabat yang lain.
b) Ummahat
Al- Mukminin (istri-istri Rasul) seperti Aisyah dan Ummu salamah. Secara
pribadi dekat dengan Rasullah, hadis yang diterima berkaitan soal keluarga dan
pergaulan suami istri.
c) Para
sahabat yang selalu dekat dengan Rasullah seperti Abdullah Amr ibn Al- Ash.
d) Sahabat
yang meskipun tidak lama dekat dengan rasullah tetapi selalu bertanya kepada
sahabat yang lain dengan sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.[4]
e) Para
sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasul dan banyak bertanya kepada
sabat yang lain. Seperti abdullan ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah bin
Abbas.[5]
B. Hadist
Pada Masa Sahabat, Periode Abad ke II
Periode kedua sejarah perkembangan
hadist, adalah masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11H sampai 40 H. masa
ini juga disebut masa sahabat besar. Oleh para ulama masa ini disebut masa “al-
tsabut wa al- iqlal min al-riwayah” yakni masa yang menunjukkan adanya
pembatasan periwayatan. Karena pada masa ini sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al- qur’an.
1. Menjaga
Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasullanya,
RAsullah berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh pada al-qur’an dan
hadist serta mengajarkannya kepada orang lain.
آيَةً وَلَوْ عَنِّى بَلِّغُوا
“Sampaikanlah
dariku walau hanya satu ayat”
(HR. Bukhari)
Pesan Rasullah sangat mendalam pengaruhnya
kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk
melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya.
Kecintaan mereka kepada Rasul dibuktikan dengan melaksanakan segala yang
dicontohkan.
2. Berhati-hati
dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist
Kehati-hatian dan usaha membatasi
periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir
terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadist merupakan sumber
tasyri’ setelah al-qur;an, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana
al- qur’an. [6]
Menurut Al- Dzahabi, abu Bakar adalah
sahabat yang pertama sekali menerima hadist secara hati-hati. Diriwayatkan oleh
Ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu
Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu
tidak ditemukan pada al-qur’an dan hadist. Al- Mughrah menyebutkan, bahwa
Rasullah memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya Al-Mughirah
menghadirkan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima.[7]
Sikap kehati-hatian juga ditujukan oleh
Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukannya saksi jika
ada yang meriwayatkan hadist.[8]
Akan tetapi untuk masalah tertentu acapkali ia pun merima periwayatan tanpa
syahid dari orang tertentu, seperti hadist-hadist dari Aisyah. Sikap kedua
sahabat juga diikuti oleh Usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara diatas,
juga terkadang mengujinya dengan sumpah.[9]
Pada masa ini belum ada usaha secara
resmi untuk menghimpun hadist dalam satu kitab seperti halnya Al-Qur’an. Hal
ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat
islam) dalam mempelajari al-qur’an.[10]
3. Periwayatan
Hadist dengan Lafaz dan Makna
Ada dua jalan para sahabat dalam
meriwayatkan hadist dari Rasul SAW :
a) Periwayatan
Lafzi
Periawayatan lafzhi adalah periwayatan
hadist yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan oleh
Rasullah. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang
disabdakan rasul SAW. Menurut ‘Ajjaj Al- Khatib, sebernarya, seluruh sahabat
menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi.[11] Di
anatara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadist dengan
jalan lafzi adalah Ibn Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan
hadist yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul
SAW, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang
sahabat menyebut hadist tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan
puasa ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar
meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang di dengarnya dari
RasullahSAW.
b) Periwayatan
Maknawi
Periwayatan Maknawi adalah periwayatan
hadist yang matannya tidak persis sama dengan Rasul, akan tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasullah SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.
Periwayatan dengan maknawi mengakibatkan
munculnya hadist-hadist yang redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya
berbeda-beda, meskipun maknanya tetap sama. Hal ini sangat tergantung pada
sahabat dan generasi berikutnya dalam meriwayatkan hadist-hadist tersebut.[12]
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat berhati-hati. Ibnu
Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadist ada istilah-istilah tertentu
yang digunakannya untuk menguatkan penukillannya, seperti dengan kata qalla rasull SAW, hakadza (Rasul SAW telah bersabda begini), atau nahwan atau qala Rasul SAW. qaribban min
hadza[13]
C. Hadist
Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini al-qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh
para sahabat, pada masa Khulafa’ur Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman
para sahabat menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para
tabi’in mempelajari hadist. Penyebaran para sahabat kebeberapa wilayah, masa
ini juga dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadist (intisyar
al-riwayah ila al-amshar)
1. Pusat
Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat
pembinaan dalam periwayatan hadist, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadist. Kota-kota tersebut adalah Madinah Al- Munawaraah, Makkah
Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan
Khurasan.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah,
karena di sisnilah Rasul menetap setelah hijrah. Sahabat yang menetap disini,
diantaranya khulafa’ Al-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abu sa’id
Al-Khudri dengan menghasilkan pembesar tabi’in, seperti sa’id ibn Al-Musyayyab,
‘Urwah Ibn Zubair, Ibn SyihabAl-Zuhri.
Diantara sahabat yang yang membina
hadist di Makkah tercatat nama-nama, sperti Mu’adz ibn jabal, ‘Atab ibn Asid,
‘Utbah ibn Al- Harist.[14]
Diantara para tabi’in yang muncul tercatat nama Mujtahid ibn Jabar, Atha’ ibn
Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan dan ‘Ikrimah maula Ibn Abbas.[15
full download
mirrror1
[1]
M. Hasbi Ashiediqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadist. Jakarta : Bulan Bintang. 1987. hal 56
[2]
Drs. Munzier Supata, MA. Ilmu Hadist.
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada) hal 71
[3]
Ibid, hal 72
[4]
Ibid, hal 74
[5]
Muhammad Jamal Al- Din Al- Qasimi, Qawa’id Al Tahdits min funun Musthalah
Al-Hadist,, (Bierut: Dar Al-kutub Al- ‘ilmiyah, 1979), hlm. 72-74. Lihat juga
Musthafa al- Siba’I, op.cit, hlm.62 dan ‘Ajjaj al Khatib, Ushul Hadist ‘Ulumuhu
wa Musthalahuhu, (Beiruy: Dar Al-Fikr, 1981), cet. Ke-4, hlm.71-72.
[6]
Ajjaj Al Khatib, Al- Sunnah Qabla Al-tadwin, hlm: 92-93.
[7]
Al hakim, hlm 15
[8]
Sikap-sikap Umar dalam hal ini bisa dilihat pada Hadis-hadis riwayat Bukhari,
Muslim, Malik. Lihat Ajjaj Al- Khatib, ibid., hal. 113-116
[9]
Ibid. Lihat juga Al-Khatib Al Baghdadi, Al- kifayah fi ilmi Al-Riwayah, (Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, 1972), hlm. 68.
[10]
Drs. Munzier Supata, MA. Ilmu Hadist.
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), op.cit. hal 82
[11]
Al- Khatib Al Baghdadi, Al- kifayah fi ilmi Al- Riwayah, op.cit, hlm.85
[12]
Drs. Munzier Supata, MA. Ilmu Hadist.
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada) hlm. 83-84
[13]
Ajjaj Al- Khatib, op.cit., h.130. lihat jyga A-Khatib Al-Baghdadi Jami’ li
Akhlaq Al-Rawi wa Adabi Al-sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah,t.t.)
hlm.106
[14]
Al- Hakim, op.cit, hlm. 192
[15]
‘Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm.234
Comments
Post a Comment