JARIMAH ZINA (FIQIH II)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
JARIMAH ZINA.
Zina menurut bahasa dan istilah syara’ adalah
persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan
depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan.
Ulama’ Hanafiyah menyebutkan sebuah definisi Zina
secara panjang lebar yang menjelaskan kriteria-kriteria zina yang mengharuskan
hukuman hadd.
Penjelasan
definisi dan hal-hal yang terkecuali oleh kriteria-kriteria tertentu:
1.
Coitus (al-wath’u)
Coitus atau
persetubuhan, sebuah tindakan yang telah dikenal, yaitu penetrasi batang
kemaluan laki-laki kedalam lubang kemaluan perempuan sekedar ukuran hasyafah
(kepala penis).
2.
Terlarang (haram)
Maksudnya persetubuhan yang dilakukan oleh orang
mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal).
3.
Pada kemaluan depan
Kriteria mengecualkan
persetubuhan pada kemaluan belakang,baik bagi laki-laki dan perempuan.
Persetubuhan yang dilakukan pada selain kemaluan depan tidak dinamakan zina
menurut iman Abu Hanifah.
4.
Perempuan
Kriteria ini
mengecualikan persetubuhan pada binatang. Sebab persetubuhan semacam ini sangat
langka terjadi dan tidak disenangi oleh tabiat dan kewajiban yang normal
seperti yang telah kami jelaskan di depan.
5.
Hidup
Kriteria ini
mengecualikan persetubuhan yang dilakukan terhadap mayat, karena persetubuhan
semacam ini juga sangat langka terjadi dan dan tidak akan dilakukan oleh orang
yang memiliki tabiat normal.
6.
Menggairahkan
Kriteria ini
mengecualikan perempuan yang tidak menggairahkan seperti anak perempuan yang
masih kecil dan belum mencapai usia yang menarik gairah dan membangkitkan nafsu
syahwat.
7.
Dalam keadaan atas kemauan sendiri dan
kehendak bebas
Pelaku persetubuhan
haruslah orang yang dalam keadaan mukhtaar (atas kemauan sendiri dan tidak di
paksa), baik laki-laki yang menyetubuhi maupun perempuan yang disetubuhi.
8.
Di daaru ‘adl
Sebab waliyyul amri
(penguasa negara islam) tidak mempunyai kewenangan atas daarul harb (negeri
musuh) dan daarul baghyi (kawasan yang di kuasai oleh pemberontak).
9.
Oleh orang yang berkewajiban mematuhi
hukum-hukum islam
Yakni muslim atau kafir
dzimmi. Kriteria ini mengecualikan orang kafir harbi, sebab ia bukanlah orang
yang berkewajiban mematuhi dan berkomitmen terhadap hukum-hukum islam.
10. Tidak
mempunyai hakikat kepemilikan
Kriteria ini
mengecualikan persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap budak
perempuan milikinya berdasarkan milkul yamiin.
11. Tidak
mempunya hakikat pernikahan
Kriteria ini untuk
mengecualikan persetubhan dengan perempuan yang dimiliki dengan akad
pernikahan.
12. Tidak
ada syubhat kepemilikan
Apabila terdapat unsur
syubhat kepemlikan atau pernikahan, pelaku tidak dikenai hukuman hadd.
13. Syubhat
pernikahan
14. Syubhat
kesamaran dan keugaran (syubhat isytibaah)
B. HUKUM ZINA DAN HUKUMAN ZINA.
·
Hukum
Zina
Berdasarkan
hukum islam, perzinaan termasuk salah satu dosa besar dan dilarang oleh Allah.
Zina adalah dosa besar urutan ke tiga, setelah musyrik dan membunuh.
Allah
berfirman:
tûïÏ%©!$#ur
w
cqããôt
yìtB
«!$#
$·g»s9Î)
tyz#uä
wur
tbqè=çFø)t
}§øÿ¨Z9$#
ÓÉL©9$#
tP§ym
ª!$#
wÎ)
Èd,ysø9$$Î/
wur
cqçR÷t
4 `tBur
ö@yèøÿt
y7Ï9ºs
t,ù=t
$YB$rOr&
ÇÏÑÈ
“dan orang-orang dan tidak menyembah tuhan
yang lan beserta Allah dan tidak embunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali
dengan alasan yang benar dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqon: 68).
·
Hukuman
Zina
Orang
yang berzina ada kalanya berstatus muhsan, sehingga hukuman hadd-nya adalah
rajam, atau tidak berstatus muhsan sehingga hukuman hadd-nya adalah dera.[1]
a.
Hukuman
Hadd bagi pezina yang yang masih lajang dan tidak berstatus muhsan.
Hukuman
hadd bagi pezina yang masih lajang adalah dera.
b.
Hukuman
bagi pezina yang berstatus muhsan.
Para
ulama’ selain khawarij bersepakat bahwasannya hukuman bagi pezina yang
berstatus muhsan adalah rajam. Hal ini berdasarkan sejumlah dalil dari As-sunnah
yang mutawatir, dalil ijma’, serta logika.
C. PENGERTIAN QHAZAF (TUDUHAN ZINA).
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu syain berarti
melempar sesuatu. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah melempar tuduhan (wath’i) zina
kepada orang lain yang karenanya mewajibkan hukuman
had bagi tertuduh (makdzuf).
Sejalan dengan beratnya hukuman bagi pelaku jarimah zina, hukum Islam juga mengancamkan hukuman yang tak kalah beratnya bagi seseorang yang melakukan tuduhan berzina kepada orang lain. Hukuman tersebut tidak dijatuhkan ketika tuduhannya mengandung kebohongan. Namun, apabila tuduhannya dapat dibuktikan kebenarannya, maka jarimah qadzaf itu tidak ada lagi dan di jatuhkan kepada orang yang menuduh. Artinya, bila si penuduh tak dapat membuktikan tuduhannya karena lemahnya pembuktian atau kesaksiannya, hukuman qadzaf dijatuhkan bagi si penuduh.
Suatu prinsip dalam fiqih Jinayah bahwa barang siapa menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram, maka wajib atasnya membuktikan tuduhan itu. Apabila ia tak dapat membuktikan tuduhan itu, maka ia wajib dikenai hukuman.
Sejalan dengan beratnya hukuman bagi pelaku jarimah zina, hukum Islam juga mengancamkan hukuman yang tak kalah beratnya bagi seseorang yang melakukan tuduhan berzina kepada orang lain. Hukuman tersebut tidak dijatuhkan ketika tuduhannya mengandung kebohongan. Namun, apabila tuduhannya dapat dibuktikan kebenarannya, maka jarimah qadzaf itu tidak ada lagi dan di jatuhkan kepada orang yang menuduh. Artinya, bila si penuduh tak dapat membuktikan tuduhannya karena lemahnya pembuktian atau kesaksiannya, hukuman qadzaf dijatuhkan bagi si penuduh.
Suatu prinsip dalam fiqih Jinayah bahwa barang siapa menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram, maka wajib atasnya membuktikan tuduhan itu. Apabila ia tak dapat membuktikan tuduhan itu, maka ia wajib dikenai hukuman.
D. SYARAT-SYARAT QHAZAF DAN HUKUM
QHAZAF.
FULL MAKALAH
MAKALAH MENARIK LAINNYA
[1]
Prof. Dr. Wahbah wa Az-Zuhali, Fiqih
Islam wa Adillatuhu,(Jakarta: Gema Insani,2011), hal:315-317
Comments
Post a Comment