KAFAAH DALAM PERNIKAHAN (fiqih II)
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kafaah
Kafaah berasal dari kata كفىء yang berarti sama atau setara. Sehingga
yang dimaksud kafaah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus
sama atau setara dengan laki-laki.
Yang dijadikan standar dalam penentuan kafaah
adalah status sosial pihak perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh
laki-laki untuk dikawini. Laki-laki yang mengawininya paling tidak harus sama
dengan perempuan, seandainya lebih tidak menjadi halangan. Masalah timbul kalau
laki-laki yang kurang status sosialnya sehingga dikatakan si laki-laki tidak
se-kufu dengan istri. Seandainya pihak istri dapat menerima kekurangan laki-laki
tidak menjadi masalah. [1]
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan
dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi
tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafaah adalah hak bagi wanita
atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, tidak serasi atau
tidak sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan
menyebabkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu boleh dibatalkan. [2]
B. Hukum Kafaah
Apabila wali dan perempuan yang akan
dinikahkan sepakat untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu,
maka akad nikahnya adalah sah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan
Syafi’i. Hambali berpendapat tidak sah.
Apabila seorang wali menikahkan seorang perempuan yang berada di bawah
perwaliannya, dengan seizin perempuan tersebut dengan seorang laki-laki yang
tidak sepadan, maka tidak sah akadnya. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Maliki berpendapat: baik para wali setuju
maupun tidak, sama saja. Akadnya tetap sah. Apabila perempuan tersebut
mengizinkan untuk dinikahkan dengan seorang muslim maka tidak seorang pun di
antara para walinya yang berhak mencegahnya. Hanafi berpendapat: pernikahannya
tetap sah.
Menurut pendapat Hanafi dan Maliki, apabila
seseorang memerdekakan seorang budak, dan budak itu hendak menikah maka
dibolehkan bekas tuan itu menjadi wali dalam pernikahannya.
Menurut pendapat Syafi’i, kekufuan dalam pernikahan ada lima:
1.
Agama
2.
Nasab
3.
Pekerjaan
4.
Merdeka
5.
Bebas dari cacat
Sebagian sahabat Syafi’i mensyaratkan
kekayaan.
Pendapat
Hanafi juga seperti pendapat Syafi’i. Maliki berpendapat sekufu hanya dalam
agama.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama,
seperti pendapat Syafi’i. Kedua, Hambali mensyaratkan agama dan pekerjaan saja
dalam kekufuan.
Apakah ketidak sekufuan dapat menyebabkan pernikahan menjadi batal?
Hanafi berkata: Para wali wajib menghalanginya. Maliki berkata: Pernikahannya
batal. Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat, dan yang paling sahih adalah
membatalkan, kecuali jika pernikahan tersebut mendapat ridha dari istri dan
para walinya. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang paling jelas adalah
batal. [3]
Ada dua pendapat fuqaha dalam persyaratan
kafaah:
1.
Pendapat pertama, sebagian dari mereka seperti Ats-Tsauri, Hasan
al-Basri, dan al-Kurkhi dari madzhab Hanafi menilai bahwa sesungguhnya kafaah
sebenarnya bukan suatu syarat. Bukannya syarat sahnya perkawinan, juga bukan
syarat kelaziman. Maka perkawinan sah dan lazim, tanpa memperdulikan apakah si
suami setara dengan si istri maupun tidak. Mereka berdalil dengan dalil berikut
ini:
Sabda
Rasulullah SAW:
اَلنَّاسُ سَوَاسِيَةٌ كَأَسْنَانِ الْمشُطِ,
لاَفَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ, اِنّمَا الْفَضْلُ بِالتَّقْوَى
“Semua
manusia sama bagaikan gigi sisir, maka orang Arab tidak lebih utama
dibandingkan orang asing. Sesungguhnya keutamaan adalah dengan ketakwaan”.
Juga hadits,
لَيْسَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ فَضْلٌ
إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Orang
Arab tidak lebih utama daripada orang asing kecuali dengan ketakwaan”.
Dalil ini dijawab, manusia sama dalam hak-hak dan kewajiban. Mereka
tidak saling lebih utama kecuali dengan ketakwaan.
2.
Pendapat kedua yaitu pendapat jumhur fuqaha, termasuk di antara mereka
adalah empat madzhab, bahwa kafaah merupakan syarat dalam lazimnya perkawinan,
bukannya syarat sahnya perkawinan. [4]
Kebanyakan
ahli Fiqih berpendapat bahwa kufu’ merupakan hak bagi perempuan dan walinya.
Jadi, seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tidak
sekufu’ dengannya kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap walinya.
Sebab
mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang tidak kufu’ berarti memberi aib
kepada keluarganya. Karena itulah hukumnya tidak boleh kecuali para walinya
ridha. [5]
C. Hikmah Kafaah
Berikut
hikmah kafaah dalam pernikahan yang di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep
kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
Islam
telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak.
Namun oleh sebagian laki-laki yang kurang bertanggungjawab,
hak thalaq yang dimilikinya disalahgunakan sedemikian rupa untuk
berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal
tersebut jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan
hak kafa’ah terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak
perempuan bisa berusaha seselektif mungkin dalam memilih calon suaminya
Target paling minimal adalah, perempuan bisa memilih calon suami yang
benar-benar paham akan konsep thalaq, dan bertanggungjawab atas
kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
2. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam
rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
Konsekuensi
dari relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan
dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan
wajar apabila sang suami berada satu level di atas istrinya, atau
sekurang-kurangnya sejajar. Seorang istri bisa saja tidak kehilangan totalitas
ketaatan kepada suaminya, meski secara pendidikan dan kekayaan misalnya lebih
tinggi dari suaminya.
3. Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat
ditentukan oleh derajat suaminya.
Seorang perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya
ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi,
pendidikan yang mapan, dan derajat keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra
negatif suami akan menjadi kredit kurang bagi nama, status sosial, dan
kehidupan keagamaan seorang istri. [6]
D. Kriteria Kafaah Menurut Ulama Fiqh
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan
kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, yang secara lengkap diuraikan
oleh al-Jaziriy sebagai berikut:
FULL MAKALAH
MAKALAH MENARIK LAINNYA
[1] Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 140-141.
[2] Prof. Dr. Abdul Rahman
Ghozali, M.A., Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 97.
[3] Syaikh al-‘Allamah
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi,
2012), hlm. 322-323.
[4] Prof. Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
hlm. 214-216.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah 7, (Bandung: PT Alma’arif, 1981), hlm. 50.
[6]
http://shirazy92.blogspot.co.id/2013/11/kafaah-sebuah-alternatif-menuju_7701.html,
diakses tgl. 15/03/16 pkl. 22:27.
Comments
Post a Comment