MAKALAH PENCURIAN DAN PERAMPOKAN (FIQIH II)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENCURIAN
1.      Definisi Pencurian  
Pencurian berasal dari kata curi artinya mengambil dengan diam-diam, sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain secara tidak sah. Sementara itu, ada beberapa definisi pencurian diantaranya sebagai berikut :
1)      Wahbah Al-Zuhaili: Pencurian adalah mengambil hara milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam katagori mencuri adalah mencuri informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi”.[1]
2)      Pencurian di dalam ketentuan KUHP Indonesia adalah perbuatan mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.  
3)      Pencurian dalam Islam merupakan perbuatan tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong tangan apabila harta yang dicuri tersebut bernilai satu nisab pencurian.
Jadi pencurian adalah mengambil harta orang dari penyimpanannya yang semestinya secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi dan tidak dibenarkan dalam Islam. Di antara bentuk penggunaan kata ini adalah istiraaqus sam’i (mencuri dengar, menyadap pembicaraan) dan musaaraqatun nazhar (mencuri pandang).
Unsur atau syarat sembunyi-sembunyi yang diperhitungkan dan harus terpenuhi disini adalah pada saat permulaan dan akhir aksi pengambilan barang yang dicuri jika pencurian itu dilakukan pada saat siang hari hingga waktu isya’. Jadi, aksi pencurian yang dilakukan antara siang hari hingga waktu isya’ maka hukumannya hadd potong tangan yaitu pencurian yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sejak awal sampai akhir aksi. Tapi jika pencurian tersebut dialkukan di malam hari (setelah isya’) maka dihukum potongan tangan karena si pencuri tersebut mengambil barang curiannya dengan cara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.
2.      Hukuman Pencurian
Sumber pokok yang menjadi landasan persyaratan hukuman hadd tangan adalah
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Maa’idah:38.)
Apabila suatu kasus kejahatan pencurian terbukti kebenarannya, maka yang sebenarnya harus dilakukan adalah menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pelakunya, karena pencurian adalah sebuah kejahatan. Apabila tidak sampai ada keharusan menjatuhinya hukum potong tangan, maka hukuman yang dijatuhkan kepadanya dalah denda ganti rugi.
Ulama’ Hanfiyah berpendapat apabila barang yang dicuri telah hilang, si pencuri tidak bisa dijatuhi hukuman denda dan hukuman potong tangan sekaligus. Oleh karena itu, apabila si korban pencurian memilih untuk mendenda si pencuri, maka si pencuri tidak dipotong tangannya, yakni jika memang perkaranya belum diajukan kepada hakim. Apabila si korban pencurian memilih supaya pencuri dipotong tangannya dan hukuman itu pun dilaksanakan, maka si korban pencurian tidak boleh lagi mendenda si pencuri tersebut. Karean Syaari’ (Allah SWT atau Rasulullah saw.) tidak menyinggung-nyinggung masalah hukuman denda. Oleh karena itu, jika sudah dijatuhi hukum potong tangan, maka tidak ada lagi suatu hukuman yang lain.
            Sementara ulama Malikiyah berpendapat apabila si pencuri adalah orang yang mampu ketika menjalani hukum potong tangan, maka ia dijatuhi hukum potong tangan sekaligus denda dikenai denda sebagai bentuk pemberatan  atas dirinya. Namun jika ia adalah orang yang tidak mampu, maka ia tidak dikenai tuntutan untuk mengganti nilai barang yang dicuri sehingga ia tidak dikenai denda akan tetapi ia hanya dijatuhi hukuman potong tangan saja sebagai bentuk peringanan bagi dirinya karena ia memiliki dalih untuk dimaklumi dikarenakan kondisinya yang miskin dan butuh.[2]
            Di pihak lain, ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah berpendapat seorang pencuri dijatuhi hukum potong tangan sekaligus denda sehingga apabila barangnya masih ada, maka dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila barangnya binasa di tangan si pencuri, ia harus menggatinya. Jika barang itu termasuk kategori barang mitsli, ia harus mengganti dengan barang yang sempurna. Apabila barang itu termasuk kategori barang qiimiy, maka ia menggati nilainya, baik apakah si pencuri itu orang mampu maupun orang miskin. Sebab dan motif masing-masing hukuman itu (potong tangan dan denda) adalah berbeda. Keharusan hukuman denda ganti rugi adalah hak adami dan keharusan hukum potong tangan adalah demi hak Allah SWT sehingga masing-masing dari keduanya tidak saling menghalangi sama seperti diyat dan kafarat atau hukuman dan denda ganti rugi nilai dalam kasus membunuh binatang buruan tanah haram milik seseorang.[3]
            Sementara itu, Imam Syafi’i dan yang lainnya mengatakan barang-barang yang diberlakukan denda ganti rugi terhadapnya, maka barang itu statusnya tidak bisa berubah menjadi hak milik orang yang didenda sehingga hukum potong tangan dan denda bisa bisa dijatuhkan kedua-duanya karena motif masing-masing hukuman itu berbeda dan penanggungan denda itu tidak disandarkan ke waktu pengambilan dan pencuri.[4]
            Pendapat yang raajiih dan jelas adalah pendapat ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah dikarenakan sebab motif masing-masing dari hukuman potong tangan dan hukuman denda itu adalah berbeda juga karena hadits yang dijadikan sebagai sandaran ulama Hanafiyyah adalah hadits dha’if. Berulang-ulangnya tindakan pencurian yang dilakukan.
Ulama sepakat dalam kasus pencurian pertama si pelaku potong tangan kanannya. Apabila ia mencuri lagi, maka yang dipotong adalah kaki kirinya. Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat seputar pemotongan tangan kirinya jika ia melakukan pencurian untuk  ketiga kalinya dan pemotongan kaki kanannya ketika ia melakukan pencurian untuk yang keempat kalinya.
Hikmah di balik pemotongan tangan dan kaki adalah pelaku pencurian dalam melakukan aksinya sangat mengandalkan kaki dan tangannya, ia mengambil barang curian dengan menggunakan tangannya dan ia berjalan dengan menggunakan kakinya karena itu anggota tubuh yang dipotong adalah tangan dan kaki. Lalu mengapa pemotongan yang dilakukan adlah dengan cara silang (tangan kanan, kemudian kaki kirinya) yakni agar ia masih bisa mendapatkan fungsi organ tangan dan kaki, hanya saja sudah tidak sempurna seperti semula.[5]

3.      Syarat-Syarat yang harus Pencurian
Ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi dalam sesuatu yang dicuri. Syarat-syarat tersebut adalah:
1)      Sesuatu yang dicuri berupa harta yang memiliki nilai (mutaqawwim)[6]
Yang dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang memiliki nilai yang harus ditanggung untuk diganti oleh orang yang merusakkannya ketika ia melakukan pelanggaran terhadapnya.
2)      Harta yang dicuri harus mencapai batas nishab pencurian
Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang yang dicuri mencapai nishab pencurian. Seseorang yang mencuri sesuatu yang remeh tidak dikenai hukuman potong tangan. Selanjutnya, fuqaha berbeda pendapat seputar berapa kadar nishab pencurian itu.
3)      Sesuatu yang dicuri harus berupa sesuatu yang memang disimpan dan di jaga
 Jumhur fuqaha berpendapat bahwa salah satu syarat untuk dikenakannya hukuman had bagi pencuri adalah bahwa barang yang dicuri harus tersimpan ditempat simpanannya dan di jaga.
4.      Perbedaan Sudut Pandang dalam Menilai dan Menghargai Tangan dalam Kasus Pencurian dan dalam Kasus Diyat
Tangan pencuri dipotong jika harta yang ia curi mencapai nilai seperempat dinar. Sedangkan dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan tangan korban lumpuh atau putus, pelaku penganiayaan dikenakan denda ganti rugi separuh diyat yaitu lima ratus dinar. Di balik perbedaan ini terkandung kemaslahatan dan hikmah yang sangat agung. Dalam kedua kasus sangat berhati-hati menyangkut masalah harta dan anggota tubuh. Di satu sisi, agama menetapkan pemotongan tangan dalam kasus penmcurian seperempat dinar atau lebih, demi menjaga dan melindungi harta sekaligus memandang hina, remeh dan rendah terhadap tangan ketika tangan itu berlaku jahat dan hina (dengan digunakan untuk mencuri). Di sisi lain, agama menetapkan diyat tangan pada saat tangan itu dianiaya sebanyak lima ratus dinar, demi menjaga dan melidungi tangan. Di waktu yang sama sebagai bentuk pengakuan terhadap urgensitas tangan serta betapa berharganya anggota tubuh yang bernama tangan itu ketika tangan itu adalah tangan yang mulia.[7]
B.     PERAMPOKAN (HIRABAH)
1.      Definisi Perampokan




FULL MAKALAH 


MAKALAH MENARIK LAINNYA

[1]Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), cet, ke-4, jilid VII, hal. 5422.

[2]Bidayatul Mujtahid, juz 2, hlm.442; Haasyiyah Ad-Dasuqi, hlm.346 dan berikutnya; Al-Qawaaniin al-Fiqhiyyah, hlm.360.
[3]Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 284; Al-Mughnii, juz 8, hlm. 270; Ghaayatul Muntahaa, juz 3, hal. 334.
[4]Tkhriij Al-Furuu’ ala Al-Ushuul karya Az-Zanjani, hal. 107.
[5]Mughnil Muhtaaj, juz 4, hlm. 178.
[6]Al-Badaa’i’, juz 7, hlm. 67; Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 280 dan halaman berikutnya; Al-Qawaaniin Al-Fiqhiyyah, hlm. 359; Ghaayatul Muntahaa, juz 3, hlm. 336.
[7]A’laamul Muwaqqi’iin, juz 2, hlm. 63.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH TEORI NATIVISME (PSIKOLOGI PENDIDIKAN)

PROPOSAL USAHA MESIN LAS

UNSUR-UNSUR POKOK HADIS