PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (FIQIH II)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah kebebasan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Termasuk di dalam pertanggungjawaban pidana adalah akibat yang ditimbulkan dari apa yang di upayakan atau tidak di upayakan tersebut atas dasar kemauan sendiri. Sebagai salah satu unsur dalam terjadinya suatu jarimah, pertanggungjawaban pidana harus meliputi 3 hal yaitu :
1.    Terdapat perbuatan yang dilarang
2.    Adanya kebebasan dalam berbuat maupun tidak berbuat
3.    Kesadaran bahwa perbuatan itu mempunyai akibat tertentu[1]
Al-mas’uliyyah al-jinaiyyah nama lain dari pertanggungjawaban pidana, hanya ada kalau ketiga hal tersebut hadir dalam pribadi pembuat delik. Ini berarti hanya mereka yang menerima taklif  atau pembebanan saja yang dianggap mempunyai pilihan dan mereka itulah yang disebut dalam terminologi fiqih sebagai orang mukallaf. Itulah sebabnya, mereka yang karena suatu sebab hilangnya kemauan tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, seperti orang yang sakit ingatan, belum dewasa, dan orang yang menerima tekanan yang berat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Pertanggungjawaban ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Namun karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya, pertanggungjawaban dikenakan kepada orang yang mewakili badan hukum tersebut.
Hukum dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggung jawab pidana, dipikulkan kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tadi.
Untuk terciptanya tujuan tersebut, hukuman harus :
1.      Memaksa seseorang untuk tidak melakukan ulang perbuatannya.
2.      Menghalangi keinginan orang lain untuk melakukan hal serupa
3.      Sanksi yang diterima pembuat jarimah harus pula bersesuaian dengan hasil perbuatannya.
4.      Sanksi hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukkan derajat kemanusiaan
5.      Hukuman harus diterima pembuat jarimah, tidak diberati dan memberati, selain pembuat jarimah karena adanya pertalian  kekeluargaan. Artinya dia hanya bertanggungjawab sendiri atas apa yang dia perbuat tanpa membebani atau dibebani orang lain.
Besar kecilnya hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan, juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam diri pembuat tindak pidana. Sebab seperti telah kita maklumi, perbuatan melawan adakalanya secara kebetulan disepakati bersama-sama, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dan lain-lain. Adanya perbedaan bentuk-bentuk perlawanan terhadap hukum mengakibatkan adanya tingkat-tingkat dalam pertanggungjawaban pidana.

B.     HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan sipelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik. Oleh karena itu, tidak setiap pelaku perbuatan yang melawan hukum dikenai sanksi. Adapun terhapusnya pertanggungjawaban pidana karena perbuatan itu sendiri disebabkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan menurut syara. Selain itu, perbuatan yang dia lakukan termasuk dalam kategori mubah atau tidak dilarang melakukannya. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori kedua, yang berhubungan dengan kondisi pelaku karena perbuatan itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang dilarang melakukannya, namun pelakunya tidak dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada di dalam dirinya.[2]
Mengenai jenis pertama, yaitu terhapusnya hukuman karena perbuatan itu sendiri, di antaranya sebagai berikut :[3]
1.      Pembelaan Yang Sah
Dalam syari’at Islam, pembelaan yang sah terbagi dalam dua bagian. Pertama, apa yang disebut dengan pembelaan yang bersifat khusus dan diistilahkan dengan daf’ush sha’il atau menolak penyerang. Kedua, pembelaan yang bersifat umum, yang dalam istilah populer disebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)
Pembelaan khusu adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan atau menjaga diri atau nyawa, harta miliknya atau milik orang lain, dengan memakai tenaganya dari setiap serangan yang datang.
Para ulama sepakat bahwa pembelaan itu merupakan suatu upaya yang sah. Namun mereka berselisih terhadap status hukumnya, apakah pembelaan itu merupakan suatu kewajiban ataukah hanya sekadar hak. Kedua jenis kata itu berbeda. Kalau pembelaan dianggap suatu kewajiban, bagi si terserang tidak ada pilihan lain, kecuali dia harus menyerang kembali atau membunuh si penyerang. Akan tetapi, kalau pembelaan itu dianggap sebagai hak si terserang, dia mempunyai hak opsi melawan atau diam.
Bagi mereka yang menyepakati pembelaan sebagai kewajiban, mereka pun hanya menyepakati terhadap penyerangan objek (sasaran) badan (jiwa) dan kehormatan saja, seperti upaya pembunuhan atau perkosaan. Bagi kedua contoh tersebut, pembelaan menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan kalau upaya pembelaan itu mengharuskan adanya pembunuhan, dia harus membunuhnya. Seandainya objek atau sasaran penyerang itu adalah harta, sebagian dari mereka menganggapnya bukan sebagai kewajiban, melainkan hanya sebagai hak saja.
Adapun yang dimaksud dengan pembelaan umum adalah suatu pembelaan untuk kepentingan umum, seperti yang telah disebutkan, yaitu dengan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini merupakan suatu tugas yang dibebankan kepada setiap orang yang mengaku dirinya sebagai muslim agar masyarakat selalu berdiri di atas kebenaran dan menjauhi segala bentuk keburukan. Dengan demikian, hal itu akan mengurangi segala bentuk kejahatan di dunia ini.
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan perbuatan yang bersifat umum, sehingga sulit di rinci jenisnya. Dalam kaitan ini, Abdul Audah menjelaskan ma’ruf  itu sebagai suatu perbuatan atau perkataan yang pantas diperbuat atau diucapkan dan bersesuaian dengan ketentuan syari’at, prinsip-prinsip umum, dan jiwa syari’at. Adapun kemunkaran adalah segala erbuatan atau perkataan maksiat yang dilarang oleh syara’, baik dilakukan orang mukallaf atau bukan mukallaf.
Dalam kaitan dengan status hukum amar ma’ruf nahyi munkar atau pembelaan umum, ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa pembelaan umum merupakan kewajiban setiap individu untuk melakukannya atau dalam term fiqih disebut dengan fardhu ‘ain. Pada hakikatnya setiap orang dapat melakukannya berdasarkan caranya massing-masing, atau dengan kadar pembelaan yang berbeda berdasarkan kemampuannya.
Adapun fuqoha yang menyatakan sebagai kewajiban kolektif, fardhu kifayah berpendapat bahwa pembelaan dipersamakan dengan jihad yang dapat dilakukan oleh sebagian masyarakat saja dan menghapuskan sebagian yang lain.
Batas antara pembelaan khusus dan pembelaan umum atau amar ma’ruf nahi munkar sangatlah tipis. Perbedaan dari kedua istilah tersebut adalah pada pembelaan khusus, penolakan hanya terjadi pada waktu adanya serangan terhadap terjadinya dirinya atau orang lain, sedangkan pada pembelaan umum, penolakan (pencegahan) itu terjadi walaupun tidak ada serangan sebab intinya adalah mencegah manusia berbuat suatu maksiat ataupun sesuatu yang dilarang.

2.      Pengajaran
Pengajaran Terhadap Istri

FULL MAKALAH 







[1] Ahmad Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 175-177.
[2] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), hlm. 139.
[3] Op. Cit., hlm. 177-188.           

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH TEORI NATIVISME (PSIKOLOGI PENDIDIKAN)

PROPOSAL USAHA MESIN LAS

UNSUR-UNSUR POKOK HADIS